PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MELALUI PELAYANAN ONE STOP SERVICE (ANTARA IDEA DAN REALITA)


PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MELALUI PELAYANAN ONE STOP SERVICE 
(ANTARA IDEA DAN REALITA)[1]

Hardiyansyah[2]
Email: hardi1966@gmail.com

Abstract: The implementation of regional autonomy substance of which is of a quality improvement of public service. Various efforts to realize the quality of services has been undertaken by the government (central and local). One of the policy is through the roof of one (one stop service). Ideally the implementation of a roof will be able to improve the quality of public services, but reality shows that are still very few local governments in a successful implementation. From hundreds of local government (district/city), which seeks to apply the policy of one stop service, only the District of Jembrana, Sragen, Solok, and Pare-Pare, who is considered successful in providing licensing services and non-licensing. The success of a roof that is determined by the policy and commitment of local leaders who are supported by the DPRD. Reality shows that the increase in quality of services through one roof, have contributed a significant increase in high-performance management of an efficient and effective.
Keywords: Improvement of the quality of service, Public Service, One stop service

Sesuai dengan amanat UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi  dan tugas pembantuan.  Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997:11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama. Untuk melaksanakan tersebut maka diperlukan organisasi publik dan manajemen publik. Organisasi publik sebagai elemen dari administrasi publik merupakan wadah untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi publik. Organisasi publik dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada publik/ warga negara.
Idealnya dengan otonomi daerah, kualitas pelayanan publik akan semakin baik, karena regulasi dan kebijakan terhadap pelayanan berada di tangan pemerintah daerah. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini masih belum memadai, karena masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, seperti: prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu penyelesaian, tidak jelas berapa biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang  tidak transparan, sikap petugas yang kurang responsif dan lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap citra pemerintah dan pemerintah daerah.
Menurut Ismail Mohamad (2003:2), permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan.  Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan in-efisien.  Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Senada dengan hal tersebut di atas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (2004) mengatakan: “...kita sungguh menyadari bahwa jajaran aparatur pemerintah memang masih mempunyai berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam berbagai sektor pelayanan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diketahui melalui pengaduan dan keluhan yang disampaikan masyarakat,  baik secara langsung maupun melalui media massa, antara lain menyangkut sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, dan tidak konsisten, sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya serta masih adanya praktek percaloan dan pungutan tidak resmi.
Pelayanan publik yang ada selama ini memang selalu dihadapkan pada masalah-masalah seperti dikemukakan di atas. Dalam survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 885 responden dengan tingkat kepercayaan 95% pada tanggal 28 Pebruari sampai dengan 1 Maret 2007, terungkap bahwa birokrasi Indonesia gagal menjalankan fungsi pelayanan publiknya.  Ketidakpastian waktu menjadi problem bagi masyarakat ketika berurusan dengan birokrasi. Urusan kecil bisa makan waktu yang lama. Inilah fenomena yang dirasakan sebagian besar (62,9%) responden. Menurut mereka, berurusan dengan aparat birokrasi selalu makan waktu lama. Selain ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya menjadi keluhan warga ketika berurusan dengan birokrasi. Tidak sedikit warga yang menyogok aparat birokrasi demi kelancaran urusannya. Dari fenomena ini, lebih dari separuh (58%) responden menganggap aparat birokrasi gampang disuap. Pencitraan tersebut, bisa jadi, dipicu juga oleh ketidakpuasan responden terhadap etos kerja birokrasi selama ini. Sebagian besar responden menyatakan tidak puas dengan kelambatan birokrasi dalam melayani urusan publik. Penilaian yang sama juga diungkapkan 65,3% responden terhadap efektivitas kerja birokrasi. Sementara untuk kedisiplinan, kecermatan, dan kesigapan kerja, sebagian besar responden masih kecewa.[3]


Penerapan otonomi daerah selama ini masih sebatas sebagai upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).  Komitmen untuk memperbaiki kondisi masyarakat secara nyata dan sistemik melalui perbaikan kinerja organisasi dan layanan publik relatif masih rendah. Tidak sedikit fakta yang dipublikasikan media menunjukkan bahwa kualitas layanan publik belum mengalami peningkatan yang signifikan dengan peningkatan belanja daerah, peningkatan beban masyarakat yang berupa kenaikan pajak dan biaya layanan (Kumorotomo, 2005).  Realitas tersebut menunjukan bahwa layanan publik sebagai bagian yang sangat penting dari peran negara/daerah dalam tatanan demokrasi belum dapat dioptimalkan. Padahal layanan publik menjadi indikator utama sejauh mana suatu pemerintahan telah menjalankan mandat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara. Layanan publik merupakan suatu arena transaksi yang paling realistis dan intensif antara rakyat dengan pemerintah, interaksi aktif antara pemberi dan penerima layanan merupakan bagian penting dari proses membangun partisipasi dan akuntabilitas publik.
Pemerintah daerah sebagai penyedia layanan publik senantiasa dituntut kemampuannya meningkatkan kualitas layanan, mampu menetapkan standar layanan yang berdimensi menjaga kualitas hidup, melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kualitas layanan juga dimaksudkan agar semua masyarakat dapat menikmati layanan, sehingga menjaga kualitas layanan publik juga berarti menjamin hak-hak asasi warga negara (Fernandes dkk., 2002).
Konsep layanan prima menjadi model yang diterapkan guna meningkatkan kualitas layanan publik. Pelayanan prima merupakan strategi mewujudkan budaya kualitas dalam pelayanan publik. Orientasi dan pelayanan prima adalah kepuasan masyarakat pengguna layanan. Membangun pelayanan prima harus dimulai dan mewujudkan atau meningkatkan profesionalisme SDM untuk dapat memberi pelayanan yang terbaik, mendekati atau melebihi standar pelayanan yang ada (Sedarmayanti, 2004).
Kendala terbatasnya SDM aparatur yang berkompeten menjadi tantangan bagaimana kompetensi SDM aparatur yang ada dapat ditingkatkan. Upaya peningkatan kualitas layanan publik melalui pelayanan prima mengandung makna menutup kesenjangan antara persepsi pemberi layanan dan pengguna layanan akan proses dan hasil layanan. Dalam perspektif pengguna layanan kriteria kualitas layanan meliputi, mudah, mudah dan baik. Oleh sebab itu pemerintah daerah sebagai pemberi layanan senantiasa mengupayakan pelayanan yang terjangkau (dekat), tepat dan cepat (Imawan, 2005).
Pelayanan publik dari aparat birokrasi sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor internal, seperti perilaku kepemimpinan birokrasi, rangsangan yang memadai, kejelasan tugas dan prosedur kerja, kejelasan peran dan perlengkapan sarana dan prasarana kerja, dan sejenisnya. Akan tetapi juga karena faktor eksternal, yang antara lain berupa norma sosial dan sistem budaya, seperti persepsi, sikap, nilai-nilai organisasi dan sentimen masyarakat terhadap kinerja aparat birokrasi. Dengan demikian, masalah tanggung jawab publik dan pelayanan aparat birokrasi sebenarnya bukan semata-mata masalah aparat birokrasi, akan tetapi masalah semua pihak yang terlibat dalam urusan pemerintahan, sehingga perlu perhatian dari setiap komponen penyelenggara negara (Mulyadi, 2007).
Salah satu pola pelayanan prima yang telah diterapkan oleh pemerintah daerah adalah pelayanan satu atap (one stop service), yaitu: Pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui berbagai pintu. Pola pelayanan terpadu satu atap, ditujukan untuk memberikan kemudahan layanan kepada masyarakat, masyarakat cukup  datang kesatu tempat untuk mendapatkan layanan, dan tidak perlu mendatangi ke dinas/instansi pemberi izin yang lokasinya tersebar. Pola pelayanan publik yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan masing-masing (LAN, 1998).
Beberapa Daerah telah melaksanakan Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap yang dikenal dengan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA), dengan berbagai variant lingkup bidang tugas dan kewenangannya, terutama untuk jenis pelayanan tertentu yang prosesnya memiliki keterkaitan dengan perizinan lainnya. Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) merupakan unit kerja yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dengan lokasi tempat/kantor tersendiri dan ditetapkan koordinator dan susunan organisasinya. Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) umumnya, selain menyelenggarakan pelayanan perizinan yang memiliki keterkaitan dengan perizinan lain, juga menyelenggarakan pelayanan perizinan yang tidak memiliki keterkaitan, serta pelayanan non perizinan. 
Permasalahannya adalah bagaimana idealnya dan realitasnya pelayanan satu atap (one stop service) tersebut dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik?
PEMBAHASAN
Kriteria Pelayanan Publik
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Wikipedia, 2009)
Pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang bersifat sederhana, terbuka, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau (Sedarmayanti, 2004). Dalam Keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993 ditegaskan, bahwa penyelenggaraan layanan publik harus mengandung unsur-unsur: (1) Hak dan kewajiban bagi pemberi layanan maupun penerima layanan umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing. (2) Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektivitas. (3) Mutu proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (4) Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Keputusan Menpan tersebut juga ditegaskan, bahwa pemberian layanan umum kepada masyarakat merupakan perwujudan dan fungsi aparatur negara sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, sehingga penyelenggaraannya perlu ditingkatkan secara terus menerus sesuai dengan sasaran pembangunan.  Keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993  tersebut menetapkan delapan sendi yang harus dapat dilaksanakan oleh instansi atau satuan kerja dalam suatu departemen yang berfungsi sebagai unit pelayanan umum. Kedelapan sendi tersebut adalah: Kesederhanaan; Kejelasan dan kepastian; Keamanan; Keterbukaan; Efisiensi; Ekonomis; Keadilan yang merata; dan Ketepatan waktu.
Sedarmayanti (2004) lebih lanjut menegaskan, bahwa hakekat dari pelayanan publik adalah : (1) Meningkatkan mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan umum. (2) Mendorong upaya mengefektifkan system dan tatalaksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna. (3) Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Pelayanan publik itu hasil dari proses politik yang ditindaklanjuti oleh birokrasi pemerintah. Layanan publik memiliki karakteristik yang berbeda dari kebijakan lainnya. Fokus utama transaksi dalam layanan publik adalah terkaitnya barang dan atau jasa yang diserahkan kepada masyarakat pengguna. Hal yang khas dalam layanan publik adalah barang dan atau jasa yang diserahkan selalu bersifat milik umum (common good) yang biaya produksinya sering kali kurang atau bahkan tidak efisien secara finansial, bahkan barang dan atau jasa yang ditransaksikan sukar diukur (intangible). Oleh sebab itu, keuntungan dan kerugian dari layanan publik pada umumnya diukur dalam dimensi sosial, ekonomi, politik, bahkan kultural (Fernandes, 2002).
Dalam banyak kasus, manfaat layanan publik hanya dapat dilihat dari keluarannya yang mungkin bisa dihitung setelah beberapa tahun berselang, misalnya pelestarian alam dan sumber daya air. Itulah sebabnya bagian terbesar dan layanan publik merupakan tanggungjawab pemerintah berdaulat  yang diberikan kepada masyarakat sebagai imbalan legitimasi dan rakyat, baik melalui pemilihan umum maupun pembayaran pajak (Kumorotomo, 2005). Di samping itu jaminan mutu layanan publik merupakan bagian dan akuntabilitas politik para pejabat yang dipilih secara absah dan digaji oleh hasil pajak dan pendapatan negara lainnya (Widodo, 2001).
Sebagai hasil proses politik dan hubungan antara hak rakyat dan tanggung jawab pemerintah, maka layanan publik memiliki tiga unsur penting, yakni: lembaga perwakilan sebagai pengambil keputusan, lembaga eksekutif (dinas pemerintahan) sebagai pemberi layanan, dan masyarakat sebagai pengguna layanan. Ketiganya mempunyai hubungan yang setara dan saling mempengaruhi agar kualitas layanan publik tetap terjaga. Kelemahan pada salah satu unsur akan berdampak pula pada tingkat kepuasan atas layanan publik secara keseluruhan. Dengan demikian jelas bahwa layanan publik memiliki dua dimensi, yakni: dimensi politik berupa pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan, dan dimensi administratif penyelenggaraan fungsi pemerintahan berupa kegiatan-kegiatan pemberian layanan dengan standar minimal yang dibakukan (Fernandes dkk., 2002).
Peran masyarakat sebagai pengguna layanan publik dalam transaksi layanan publik adalah kemampuannya menunjukkan kehendak, tuntutan, harapan, serta penilaian kepuasan terhadap layanan publik. Bentuk-bentuk tuntutan dan harapan masyarakat pada umumnya diartikulasikan melalui opini publik (agenda publik) yang terbentuk dan proses agenda media dan kelompok strategis representatif yang diwacanakan di ruang publik. Dalam kontek proses pembuatan kebijakan daerah, opini publik yang merepresentasikan kehendak publik dalam hal layanan publik menjadi masukan penting untuk diapresiasi oleh anggota DPRD dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Kemampuan dan kearifan anggota DPRD dalam mengapresiasi dan mengartikulasikan opini publik representatif menjadi salah satu indikator penting bagi upaya peningkatan kualitas layanan publik.
Dinas/instansi (unit pelaksana teknis) daerah sebagai pelaksanaan kebijakan layanan publik senantiasa berupaya untuk memenuhi standar layanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu: transparan, tidak diskriminatif, terjangkau, proses mudah dan mempunyai akuntabilitas publik tinggi. Keluhan masyarakat penting untuk dicermati sebagai masukan untuk meningkatkan kinerja sistem dan standar layanan publik.

Penyelenggara Pelayanan Publik
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, Perguruan Tinggi Swasta (PTS), perusahaan pengangkutan milik swasta. (2) Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi : (a) Yang bersifat primer dan adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayanan perizinan; (b) Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan (Wikipedia, 2009).
Karakteristik Pelayanan Publik
Ada lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, yaitu: (1) Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna. (2) Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik. (3) Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna/klien. (4) Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan. (5) Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.

Penilaian kualitas pelayanan
Jenis kualitas yang digunakan untuk menilai kualitas jasa menurut Rangkuti (2003:28) adalah (1) kualitas teknik (outcome), yaitu kualitas hasil kerja penyampaian jasa itu sendiri; dan (2) kualitas pelayanan (proses), yaitu kualitas cara penyampaian jasa tersebut. Karena jasa tidak kasat mata (intangible) serta kualitas teknik jasa tidak selalu dapat dievaluasi secara akurat, pemakai jasa berusaha menilai kualitas jasa berdasarkan apa yang dirasakannya, yaitu atribut-atribut yang mewakili kualitas proses dan kualitas pelayanan.
Dalam hal penilaian kualitas pelayanan, Parasuraman et. al. (1985) mendefinisikan penilaian kualitas pelayanan sebagai suatu pertimbangan global atau sikap yang berhubungan dengan keunggulan (superiority) dari suatu pelayanan (jasa). Dengan kata lain, penilaian kualitas pelayanan adalah sama dengan sikap individu secara umum terhadap kinerja perusahaan. Selanjutnya ditambahkan bahwa penilaian kualitas pelayanan adalah tingkat dan arah perbedaan antara persepsi dan harapan pelanggan. Selisih antara persepsi dan harapan inilah yang mendasari munculnya konsep gap (perception-expectation gap) dan digunakan sebagai dasar skala SERVQUAL, yang didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu: (1) tangibility, meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi; (2) realibility, yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu dan memuaskan; (3) responsiveness, yaitu kemampuan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap; (4) assurance, mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan; (5) emphaty, mencakup kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan.
Dalam pengukuran kualitas pelayanan menurut Kotler dalam Rangkuti (2003:23), harus bermula dari mengenali kebutuhan/kepentingan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa gambaran kualitas harus mengacu pada pandangan pelanggan dan bukan pada pihak penyedia jasa, karena pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa. Pelanggan layak menentukan pelayanan itu berkualitas baik atau tidak
Rangkuti (2003:109) menggunakan analisis Importance and Performance Matrix untuk mengukur kualitas layanan. Konsep ini sebenarnya berasal dari konsep SERVQUAL sebagaimana yang disarankan oleh Parasuraman. Tingkat kepentingan pelanggan (customer expectation) diukur dalam kaitannya apa yang seharusnya dengan apa yang seharusnya dikerjakan oleh perusahaan agar menghasilkan produk/jasa yang berkualitas tinggi. Lebih jelasnya, konsep ini mengganti istilah expectation dengan importance atau tingkat kepentingan menurut persepsi pelanggan. Dengan mengkaitkan variabel yang menurut pelanggan penting dengan kenyataan yang dirasakan oleh pelanggan, maka akan diperoleh hubungan antara tingkat kepentingan (importance) dengan kenyataan yang dirasakan (performance). Dari hubungan ini kita dapat melakukan analisis strategi untuk peningkatan kualitas layanan dengan menggunakan importance dan performance matrix. Variabel penentu kualitas pelayanan tetap menggunakan lima dimensi kualitas yaitu; (1) Tangibility, (2) Realibility, (3) Responsiveness, (4) Assurance, dan (5) Emphaty.
Pelayanan pemerintah adalah suatu kegiatan yang merupakan perwujudan dari salah satu fungsi pemerintah itu sendiri, yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia di Istana Negara (2006) bahwa “jajaran pemerintahan terutama yang bertugas di garis terdepan bidang pelayanan masyarakat agar tidak mempersulit proses pelayanan terhadap rakyat, karena pemerintahan yang baik (good governance) hanya akan terwujud bila pelayanan itu murah, mudah dan cepat. Selanjutnya Rasyid (1987 : 116-117) mengatakan bahwa : “fungsi utama pemerintah adalah pelayanan kepada masyarakat, yang bertujuan menciptakan kondisi yang menjamin warga masyarakat melaksanakan kehidupan mereka secara wajar ”.
Dalam hal ini pelayanan yang diharapkan adalah pelayanan yang berkualitas. Kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang baik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. Sebagaimana dikemukakan Trigono (1997 : 76-78) bahwa pelayanan yang terbaik yaitu “ melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong serta profesional dan mampu”, bahwa kualitas ialahStandar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat”.
Gaspersz (dalam Lukman, 1999:9) menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers). Sependapat dengan itu Goets dan davis (dalam Tjiptono, 1996:51), kualitas merupakan “suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi, atau melebihi harapan”. Wyckoy (dalam Tjiptono, 1996:59) mengartikan kualitas jasa atau layanan sebagai “tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Hal ini berarti apabila jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, sebaliknya jika jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan buruk. Untuk itu perlu standar yang objektif untuk menilai kualitas pelayanan.
Unsur-unsur pokok yang terkandung dalam pelayanan yang unggul (service excellence), menurut Trigono (1997:58) ada empat yaitu: Kecepatan, ketepatan, keramahan dan kenyamanan. Keempat komponen tersebut merupakan suatu kesatuan yang integrasi, artinya pelayanan menjadi tidak excellence bila ada komponen yang kurang. Kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat terhadap unit organisasi pemerintah yang memberikan layanan secara khusus serta pemerintahan pada umumnya.
Selanjutnya Lukman (1999:10), mengartikan “kualitas sebagai kesesuaian dengan persyaratan, kesesuaian dengan pihak pemakai atau bebas dari kerusakan/cacat”. Oleh sebab itu kualitas pelayanan adalah suatu kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan prinsip : lebih cepat, lebih tepat, lebih mudah dan lebih adil, lebih baik, akurat, ramah, sesuai dengan harapan pelanggan. Jadi kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan standar pelayanan yang ada. Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik.

Kebijakan Daerah dalam Penyelenggaraan Pelayanan One Stop Service
Proses pelayanan perizinan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang berbelit-belit, tidak transparan, tidak ada kejelasan besarnya biaya dan kepastian waktu dalam proses dan penyelesaian, lokasi atau tempat yang tersebar dan adanya biaya ekstra yang dikeluarkan, menjadi sorotan dan keluhan masyarakat umum dan swasta/dunia usaha baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional. Penyelenggaraan pelayanan publik yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat akan berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat dan dapat menghambat masuknya investasi serta pengembangan perekonomian daerah. Pada gilirannya, tidak menguntungkan daerah dan akan melemahkan atau mengganggu kemampuan daerah untuk membiayai otonominya.
Perubahan paradigma kebijakan otonomi daerah, menjadi  keharusan untuk ditindaklanjuti oleh daerah. Perubahan pola pikir  dan komitmen dari pimpinan dan pimpinan manajerial daerah yang lebih progresif sangat dibutuhkan dan menentukan dalam melakukan perubahan kebijakan dan strategi meningkatkan pelayanan publik. Perubahan strategi dan kebijakan pelayanan publik menjadi prioritas untuk dilakukan, dalam upaya memberikan solusi mengatasi permasalahan buruknya pelayanan publik, dan upaya meningkatkan investasi dan perekonomian daerah dengan tujuan mensejahterakan masyarakat.
Kebijakan pelayanan publik diarahkan untuk; pertama, penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan publik, melalui restrukturisasi kelembagaan; kedua, melakukan penyederhanaan pelayanan perizinan yang berkaitan dengan persyaratan, prosedur, proses dan penyelesaian perizinan.
Pemerintah daerah telah mengambil langkah kebijakan penyederhanan penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan membentuk lembaga unit pelayanan terpadu (UPT). Bercermin dari pengalaman pelaksanaan UPT, penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan tidak sesederhana teori dan semudah membuat konsepnya. Penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan merupakan proses kegiatan berkelanjutan yang harus dilaksanakan secara bertahap dan terpadu dengan program lain, dan dilandasi komitmen serta kerjasama untuk meningkakan kualitas pelayanan publik. Dalam praktek pelaksanaannya, penyelenggaraan pelayanan perizinan terpadu, mengalami pasang surut, bahkan dibeberapa daerah UPT tidak berfungsi sebagaimana diharapkan, dan penyelenggaraan pelayanan kembali dilakukan secara tradisional di masing-masing dinas/instansi.
Di beberapa daerah, penyelenggaraan pelayanan perizinan terpadu satu atap/pintu atau one stop servive, telah berhasil dilaksanakan dengan baik, bahkan keberhasilan praktek terbaik dalam penyelenggaraan pelayanan  diakui dan mendapat penghargaan dari pemerintah dan lembaga internasional (ISO). Dalam proses perkembangannya, daerah-daerah tersebut telah mampu menciptakan iklim kondusif bagi kegiatan dunia usaha mengembangkan usaha dan meningkatkan investasi. Disisi lain, dampak positifnya adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pelayanan pemerintahan daerah.
Dari penelusuran atas keberhasilan daerah seperti Kab. Jembrana, Kab. Sragen, Kab. Solok, Kab. Pare-Pare, dan daerah lainnya, penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan melalui pelayanan terpadu dan atau dengan nama lainnya, ternyata  sangat ditentukan oleh kebijakan dan komitmen pimpinan daerah. Komitmen Kepala Daerah dan jajaran aparat pelaksana yang didukung oleh DPRD, telah berhasil melakukan restrukturisasi organisasi yang berorientasi pada peningkatan pelayanan dan kontribusinya sangat tinggi dalam meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan yang efisien dan efektif, mengefektifitaskan sistem, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta ketegasan dan kejelasan pengawasan, sanksi dan reward.
Demikian pula, langkah kebijakan pimpinan daerah dalam meningkatkan kompetensi aparat penyelenggara pelayanan dalam pelaksanaan tugas, fungsi,  kewajiban dan tanggungjawab memberikan pelayanan publik, cukup berhasil mengubah mind set aparat menjadi lebih progresif, terutama di dalam membangun komitmen dan kebersamaan melaksanakan visi, misi dan tujuan organisasi. Dalam konteks kesejahteraan pegawai, di beberapa daerah seperti Gubernur Gorontalo dan Bupati Solok, telah menetapkan kebijakan dan komitmen untuk mengambil langkah-langkah pemangkasan hambatan birokrasi seperti,  prosedur dan persyaratan, kepastian waktu proses dan penyelesaian, dan beban biaya ekstra atau pungli (pungutan liar). Langkah tersebut, dibarengi dengan upaya meningkatkan kesejahteraan pegawai, baik dalam bentuk bonus, penghargaan dan tunjangan, serta menghapuskan kesan atau pandangan adanya “meja air mata dan meja mata air”, dengan kebijakan  pemerataan kesejahteraan aparat secara proporsional.
Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, memperjelas dan mempertegas bahwa kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan di daerah harus dilaksanakan secara terpadu one stop service. Namun demikian, dari ratusan pemerintah daerah yang telah berusaha untuk mengimplementasikan pelayanan satu atap, ternyata hanya sebagian kecil saja yang telah berhasil menerapkan kebijakan tersebut. Artinya, masih sangat banyak pemerintah daerah yang gagal/belum berhasil. Kegagalan tersebut sebagian besar menyangkut tentang kesiapan SDM aparatur, orientasi pelayanan yang sangat kental nuansa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), dan dukungan komitmen pihak eksekutif dan legislatif yang relatif masih rendah untuk mengimplementasikan kebijakan pelayanan one stop service.

Strategi Pelayanan Prima Pola Layanan One Stop Service
Pelayanan prima merupakan terjemahan dan excellent service yang artinya pelayanan terbaik. Pelayanan prima sebagai strategi adalah suatu pendekatan organisasi total yang menjadikan kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa sebagai penggerak utama pencapaian tujuan organisasi (Lovelok, 1992). Arti pelayanan prima berorientasi pada kepuasan pengguna layanan. Penanganan layanan  secara profesional menjadi kunci keberhasilan. Oleh sebab itu perlu SDM aparatur yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang-bidang layanan yang dikelola.
Hal tersebut agaknya tidak mungkin dapat dipenuhi oleh dinas/instansi di daerah dalam kurun waktu yang pendek. Karena sistem penerimaan pegawai (PNS) yang masih kental nuansa KKN, selain dari pada itu pola pengembangan pegawai yang cenderung lebih menekankan pada aspek struktural dari pada aspek fungsional. Akibatnya SDM aparatur  di daerah dalam meniti kariernya cenderung untuk menggapai jabatan, bukan untuk berprestasi pada fungsi-fungsi tertentu. Dengan demikian jika dinas/instansi daerah ingin menerapkan layanan prima, maka yang paling mendasar harus dilakukan adalah mengupayakan peningkatan kompetensi SDM aparatur yang ada di lini depan, karena pada banyak organisasi kualitas layanan sangat dipengaruhi secara signifikan oleh SDM yang ada di lini depan. Semakin tinggi relevansi kompetensi SDM aparatur dengan bidang-bidang yang dikelola, maka akan semakin tinggi pula efektifitas layanan. Namun perlu dukungan ketersediaan fasilitas dan peralatan fisik yang memadai serta sistem insentif dan program yang dirancang berdasarkan evaluasi dan kajian terhadap dinamika faktor internal dan eksternal, termasuk keluhan masyarakat pengguna layanan. Hal ini penting diupayakan karena pelayanan prima juga harus ditopang terbentuknya budaya kualitas sebagai bagian dari etos kerja dan sistem kualitas untuk kinerja yang hendak dicapai oleh organisasi. Jika hal tersebut dapat diwujudkan, maka aparat di semua lini mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, secara operasional mereka melakukan empati, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, bekerja secara tim, mampu mencapai kinerja sesuai dengan tugas yang diberikan (Priyono, 2006).
Strategi pelayanan prima pola layanan one stop service atau sering disebut sebagai  layanan terpadu satu atap pada suatu tempat oleh beberapa instansi daerah yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan masing-masing, sebenarnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru, strategi ini telah berhasil diterapkan pada layanan pembayaran pajak kendaraan bermotor yang melibatkan beberapa instansi daerah, antara lain Dipenda, Kepolisian, dan Jasa Raharja. Penerapan layanan one stop service atau satu atap pada dasarnya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas melalui peminimalan jarak geografis antar fungsi terkait, dengan demikian dapat diperpendek waktu yang diperlukan untuk proses layanan, pengguna  jasa layanan juga menjadi lebih mudah untuk memperoleh layanan. Yang senantiasa harus dicermati dalam penerapan pola layanan one stop service atau layanan satu atap adalah koordinasi diantara beberapa instansi yang terkait (Priyono, 2006).
Keberhasilan penerapan layanan terpadu untuk pembayaran pajak kendaraan bermotor ini kemudian mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan layanan terpadu pada bidang layanan dokumen, seperti layanan KTP, KK, akta kelahiran dan perizinan yang dulunya dilakukan pada tempat yang terpisah kemudian disatu-atapkan di satu tempat. Persoalan yang muncul dalam hal ini adalah bagaimana mengintegrasikan berbagai bentuk layanan yang berbeda proses penanganannya.
Evaluasi terhadap fungsi-fungsi pelayanan yang akan disatu-atapkan perlu dilakukan. Barangkali yang paling mudah dilakukan dalam penyelenggaraan layanan satu atap bagi bidang-bidang yang berbeda, hanya sebatas pada layanan lini pertama, yaitu tempat penerimaan berkas ajuan layanan, tindakan selanjutnya untuk penyelesaiannya tetap pada instansi masing-masing. Penempatan personal yang handal sangat menentukan efektifitas penyelenggaraan. Selain petugas lini depan, maka perlu ditempatkan seorang kurir untuk masing-masing instansi guna memperlancar alur layanan dan penyelesaian pekerjaan layanan. Kemudian, untuk mempermudah masyarakat pengguna layanan memperoleh layanan, maka desain layanan harus dikomunikasikan sejelas-jelasnya.
Fasilitas kerja dan sarana penunjang kelancaran pelaksanaan pekerjaan layanan perlu disediakan pada tingkat yang memadai. Oleh sebab itu, analisis terhadap kebutuhan fasilitas kerja dan pendukung perlu dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber dana. Menurut  Fernandes (2002) ada dua hal yang penting untuk dicermati dalam kaitannya dengan layanan publik, yaitu: pertama, dimensi pemberi layanan dan kedua masyarakat pengguna layanan. Berdasarkan dimensi pemberi layanan perlu diperhatikan tingkat pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil, kesiapan petugas dan mekanisme kerja, harga terjangkau, prosedur sederhana dan waktu penyelesaian yang dapat dipastikan.
Sedangkan dari dimensi masyarakat pengguna layanan publik harus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap penyimpangan yang muncul dalam praktek penyelenggaraan layanan publik. Keterlibatan masyarakat terutama stakeholder representatif baik dalam mengawasi dan menyampaikan aspirasi atau keluhan terhadap praktik penyelenggaraan layanan publik menjadi faktor penting sebagai umpan balik bagi perbaikan kualitas layanan publik dan memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Pemberian layanan publik dengan pola layanan one stop service yang memenuhi standar minimal seperti yang telah diterapkan memang menjadi bagian yang perlu dicermati. Dewasa ini masih sering dirasakan, bahwa kualitas layanan minimum masih belum memenuhi harapan sebagian besar masyarakat pengguna layanan. Yang lebih memprihatinkan lagi sebagian besar masyarakat pengguna layanan publik belum memahami secara pasti tentang standar layanan yang seharusnya diterima dan sesuai dengan prosedur layanan yang dibakukan. Masyarakat pun enggan mengadukan jika menerima layanan yang kurang berkualitas.
Belum meningkatnya kualitas pelayanan publik di era otonomi daerah juga dikemukakan oleh Ratminto dan Winarsih (2005) yang didasarkan atas penelitian yang dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta dan Jawa Tengah, disimpulkan bahwa kesadaran akan otonomi daerah masih belum secara optimal meningkatkan kualitas layanan publik. Karena otonomi daerah belum berhasil mewujudkan sistem administrasi yang diletakan atas dasar kesetaraan posisi tawar antara pemerintah sebagai penyedia layanan publik dengan masyarakat sebagai pengguna layanan publik, masih terdapat kecenderungan bahwa masyarakat sebagai pengguna layanan publik dalam posisi yang kurang diuntungkan dengan adanya otonomi daerah.
SIMPULAN DAN SARAN
Idealnya dengan diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah, maka pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah akan semakin baik dan semakin berkualitas. Setelah satu dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah, ternyata peningkatan kualitas pelayanan publik belum mengalami perubahan secara signifikan. Pemerintah dan pemerintah daerah senantiasa mencari pola dan metode baru untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mengaplikasikan pelayanan one stop service. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, memperjelas dan mempertegas bahwa kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan di daerah harus dilaksanakan secara terpadu satu pintu.
Namun kenyataan (realitasnya) menujukkan bahwa masih sangat sedikit pemerintah daerah yang berhasil dalam implementasi dan aplikasi one stop service (pelayanan satu atap).  Dari ratusan pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang berusaha menerapkan kebijakan pelayanan satu atap, hanya beberapa daerah saja yang berhasil, seperti Pemerintah Kab. Jembrana, Pemkab. Sragen, Pemkab. Solok, Pemkab. Pare-Pare, dan daerah lainnya. Ketidakberhasilan atau juga bisa disebut kegagalan dalam aplikasi pelayanan one stop service, antara lain disebabkan (1) Pola pikir pemberian perizinan yang sangat berorientasi kepada pendapatan asli daerah (PAD); (2) Masih kurang/rendahnya komitmen pimpinan daerah bersama-sama DPRD dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dan belum berfungsinya peran DPRD dalam  memfasilitasi kelancaran proses legislasi bagi kebijakan penyelenggaraan layanan yang berkualitas; (3) SDM aparatur yang ada di lini depan yang belum memiliki kompetensi, karena pada banyak organisasi kualitas layanan sangat dipengaruhi secara signifikan oleh SDM yang ada di lini depan (lihat pelayanan yang dilakukan oleh perbankan swasta yang menarik, ramah, sopan dll.); (4) Belum terciptanya iklim yang kondusif dalam kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat/swasta.
Selanjutnya, agar pelayanan publik melalui one stop service dapat berhasil dengan baik, setidaknya ada empat saran/solusi yang ditawarkan sebagai berikut: Pertama. Bahwa pelayanan harus (a) tangibility, yaitu adanya fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi yang memadai; (b) realibility, yaitu adanya kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu dan memuaskan; (c) responsiveness, yaitu kemampuan untuk  memberikan pelayanan dengan tanggap; (d) assurance, pelayanan yang diberikan harus sopan dan dapat dipercaya; (e) emphaty, yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para customer. Kedua, mengubah pola pikir pemberian perizinan yang berorientasi pendapatan asli daerah (PAD). Ketiga, meningkatkan komitmen kepala daerah yang didukung oleh DPRD dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan peran DPRD dalam  memfasilitasi kelancaran proses legislasi bagi kebijakan penyelenggaraan layanan yang berkualitas. Keempat, menciptakan iklim yang kondusif agar kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat/swasta dapat berkembang, dan melakukan kerjasama dan/atau bermitra dengan pengusaha untuk menciptakan pasar kerja dan tumbuh kembangnya kegiatan usaha pendukungnya termasuk UMKM. Terbukanya lapangan kerja dan usaha, akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan yang pada gilirannya masyarakat akan mampu membayar pajak dan retribusi untuk kontribusi Pendapatan Asli Daerah.

DAFTAR RUJUKAN
Fernandes, Joe, dkk. 2002. Otonomi Daerah di Indonesia Masa Reformasi: Antara Ilusi dan Fakta, Jakarta: IPOS dan Ford Fondation.
Imawan, Riswandha. 2005. Aspek Demokrasi Dalam UU No 32 Th 2004 Tinjauan Terhadap Masa Depan Politik Lokal. Makalah Seminar Undang-Undang No. 32 dan Upaya Mewujudkan Good Governance.
Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketsa Pada Masa Transisi. Jogjakarta: MAP-UGM dan Pustaka Pelajar.
Moenir, H.A.S. 2006. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyadi, Deddy. 2007. Mengharapkan Pelayanan Publik yang Optimal. Pikiran Rakyat Bandung, 13 Agustus 2007.
Parasuraman, A. Zeithalm,V dan Berry L. 1985. A Conceptual Model of Service Quality and its Implication for Future Research. Journal of Marketing,Vol 49,41-50
Priyono, Agung. 2006. Pelayanan Satu Atap Sebagai Strategi Pelayanan Prima
di Era Otonomi Daerah.  Jurnal Spirit Publik Vol. 2, No. 2, Oktober 2006 Hal. 67-74. Fisipol UNS. Surakarta.
Propenko, Yoseph dan Pavlin Igor. 1991. Enterpreneurship Development in Public Enterpric. London: Englewood.
Rangkuti, Freddy. 2003. Measuring Customer Satisfaction, Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan Pelanggan Plus Analisis Kasus PLN-JP. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rasyid, M. Ryaas. 1997. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Yasif Watampone.
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen's Chapter dan Standar Pelayanan Minimal. Jogjakarta: Putaka Pelajar.
Sedarmayanti. 2004. Good Governance: Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju.
Sinambela, L. Poltak. 2006. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Tjiptono, Pandi. 1996. Manajemen Jasa. Yogyakarta : Andi.
Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi di Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia.
Wikipedia Indonesia. 2009. Pelayanan Publik. Melalui <http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik> [5 Mei 2009]


[1] Telah dimuat pada Jurnal Proyeksi (Ilmu Sosial dan Humaniora) FISIP UNTAN, Pontianak, ISSN 0215-9252, Vol. 13 No. 1, Juni 2009, hal. 43-60.

[2] Dosen Kopertis Wilayah II dpk pada Universitas Bina Darma Palembang
[3] Kompas, tanggal 5 Maret 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah perjalanan hidup...

CV_Hardiyansyah