Kisah perjalanan hidup...


Cerita Leluhur
Alkisah, di sebuah dusun kecil, Gunungliwat namanya, sekarang masuk wilayah Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat. Seorang puteri cantik anak seorang pembesar dusun yang sudah masanya untuk dinikahkan. Sesuai hasil musyawarah, puteri nan cantik tadi akan dinikahkan dengan seorang pemuda di daerah Semendo (sekarang masuk wilayah Kabupaten Muara Enim). Saat itu, sesuai kesepakatan bahwa pihak perempuan yang akan mendatangi pihak laki-laki. Karena puteri ini adalah anak pembesar dusun, maka untuk menuju wilayah Semendo yang cukup jauh jaraknya sang puteri ini harus ditandu oleh empat orang dengan alat tandu khusus dengan penuh pengawalan. Perjalanan yang cukup jauh itu tidak mudah untuk dilalui, dengan jalan setapak dan kadang mendaki bukit yang terjal, kadang menuruni lembah sungai yang masih banyak binatang buas, sungguh perjalanan yang sangat melelahkan. Setelah sekian lama menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan itu, sebelum iring-iringan tandu ini sampai ke tempatnya, di tengah perjalanan, sang puteri tiba-tiba sakit, sakit seperti diguna-guna atau seperti orang kemasukan jin. Pihak keluarga menjadi panik dan akhirnya keluarga sepakat memutuskan agar sang puteri diobati terlebih dahulu sebelum diantar sampai ke Semendo. Pada setiap kampung atau dusun yang dilalui, terus dilakukan terapi kepada orang "pintar" yang dianggap dapat mengobati sakit sang puteri. Namun apa daya sakit sang puteri belum juga terobati dan belum sembuh. Mendengar berita ini, keluarga pihak laki-laki (dari Semendo) akhirnya membatalkan rencana pernikahan ini. Keluarga besar dari sang puteri sangat kecewa dengan kejadian ini dan akhirnya mereka kembali pulang ke dusun Gunungliwat. Segala daya dan upaya telah dilakukan oleh pihak keluarga, namun penyakit sang puteri belum juga sembuh. Karena sudah hampir putus asa, akhirnya keluarga besar bernazar bahwa siapapun yang dapat mengobati sang puteri hingga sembuh, kalau dia perempuan akan dijadikan saudara angkatnya, dan bila dia seorang jejaka akan dijadikan suaminya. Mulailah pihak keluarga membawa sang puteri masuk dusun ke luar dusun untuk melakukan pengobatan hingga akhirnya terdengarlah informasi bahwa di sebuah dusun, dusun Tebat Benawa namanya, sekarang masuk wilayah Kecamatan Dempo Selatan Pagaralam, ada seorang tabib yang biasa mengobati orang sakit karena guna-guna atau kemasukan jin. Dengan segala persiapan yang diperlukan, berangkatlah keluarga besar ini dengan membawa sang puteri ke dusun Tebat Benawa untuk pengobatan. Perjalanan menuju dusun Tebat Benawa tidaklah mudah, jalanan yang terus mendaki, karena letaknya di daerah perbukitan dataran tinggi, melewati hutan belantara, menuruni sungai dan ngarai, akhirnya sampailah keluarga sang puteri di dusun Tebat Benawa. Setelah melakukan berbagai persiapan, sang puteri segera diterapi/diobati hingga beberapa hari.  Alhamdulillah atas takdir Allah, akhirnya sang puteri inipun sembuh dari sakitnya. Namun kemudian timbul persoalan, karena pihak keluarga sudah bernazar bahwa bila ada orang yang mampu mengobati penyakit sang puteri, bila dia jejaka/lelaki akan dinikahkan pada puterinya. Ternyata yang telah membantu pengobatan hingga kemudian sang puteri sembuh dari sakitnya adalah bukan seorang jejaka, tapi orang tua yang sudah punya isteri dan anak-anak. Akhirnya dilakukan musyawarah antara pihak keluarga sang puteri dengan keluarga bapak tabib dan disepakati bahwa sang puteri dinikahkan dengan keponakan sang tabib. Nama keponakan sang tabib adalah Muhammad Nur.  Setelah dilakukan persiapan yang matang, maka dilangsungkanlah pesta pernikahan yang meriah di dusun Tebat Benawa. Seiring perjalanan waktu, Muhammad Nur dan istrinya (sang puteri dari Gunungliwat) menunaikan ibadah haji, panggilan sehari-hari berubah menjadi haji Matnur. Alhamdulillah, keluarga ini dapat membina dan mewujudkan rumah tangga dn keluarga yang bahagia hingga mendapatkan keturunan sebanyak empat orang anak, tiga orang puteri dan satu orang putera. Setelah semua anaknya besar, maka satu persatu mereka juga menemukan jodohnya dan menikah. Anak pertama perempuan, menikah dengan seorang jejaka berasal dari dusun Pematang Bange, Pagaralam Utara. Anak kedua perempuan bernama Deminah menikah dengan seorang jejaka yang bernama Kurung dari dusunnya sendiri, anak ketiga juga perempuan menikah dengan seorang jejaka yang berasal dari Semendo, dan anak bungsu adalah lelaki bernama Abdul Hamid menikah dengan seorang puteri dari dusun Gunung Agung Tengah, sekarang masuk wilayah Kecamatan Dempo Utara Pagaralam.  Ada kisah menarik; saat suami dari Deminah akan pergi menunaikan ibadah haji, sang adik yang bernama Abdul Hamid (saat itu masih bujangan) juga mau ikut pergi haji. Lalu dilakukan musyawarah keluarga, maka berangkatlah keduanya ke Makkah. Waktu itu (masih zaman Kolonial Belanda), pergi haji tidak semudah sekarang, Belanda sangat ketat dengan orang yang akan pergi haji, bahkan sengaja dipersulit karena khawatir akan membawa pesan-pesan perjuangan kemerdekaan dan akan merepotkan Belanda. Menurut cerita (dari nenek Hajjah Deminah), perjalanan menuju tanah suci memakan waktu lebih kurang setengah tahun, karena memang tidak ada alat angkut khusus untuk menunaikan ibadah haji. Kedua orang ini (Kurung dan Hamid) menyiapkan bekal perjalanan yang sangat banyak, nasi yang sudah dimasak dijemur sampai kering, lalu disimpan dan bila akan makan, nasi yang sudah kering itu ditambahkan air agar teksturnya menjadi lembut dan bisa dimakan. Kedua orang ini untuk menuju tanah suci menumpang kapal dagang milik Belanda, namanya kapal dagang tentu saja hampir di setiap pelabuhan singgah untuk melakukan transaksi perdagangan, kapal dagang ini singgah di Singapura, Bombay/Mumbay (India), Pakistan, dan lain-lain. Dengan segala kekurangan dan kesusahan, sampailah mereka berdua ke Makkah untuk melakukan ibadah haji, dapat dibayangkan bagaimana suasana Makkah saat itu, kendaraan yang mereka gunakan selama di Makkah adalah unta, belum ada hotel, belum ada fasilitas cattering, belum ada terowongan Mina, belum ada AC, mereka membuat tenda untuk bermalam, mereka masak sendiri dan tentu saja dengan fasilitas yang sangat sederhana. Singkat cerita, setelah habis musim haji, mereka siap-siap untuk pulang ke tanah air. Namun sang adik ipar (Hamid) karena memang masih bujangan, sepakat untuk tetap tinggal di Makkah guna menuntut ilmu disana, padahal orang tua mereka bukanlah orang kaya, tapi karena sang anak tetap semangat untuk sekolah, maka segala daya upaya dan semua keluarga menyokong, maka Hamid bermukim di Makkah untuk belajar tentang Islam hingga tujuh tahun lamanya. Sebelum kembali ke tanah air, kebiasaan penyelenggara haji di Makkah sering mengubah nama orang yang dianggap kurang pas untuk seorang haji, maka nama Kurung diubah namanya menjadi Muhammad Thoyib. Sesampai di tanah air, diumumkanlah perubahan nama menjadi Haji Muhammad Thoyib dan kemudian mereka membuat perkampungan baru yaitu dusun Rempasai, Haji Thoyib menjadi Ketib (Khatib) yang bertugas menjadi khatib jumat dan juga penghulu yang akan menikahkan orang, termasuk urusan keagamaan lainnya.


      Haji Muhammad Thoyib

Beliau juga tercatat sebagai aktivis Syarikat Islam (SI) dan sering pergi ke Curup (Bengkulu) untuk belajar tentang Islam serta melakukan pertemuan dan membahas tentang dakwah Islam serta nasib bangsa kedepan. Adik iparnya yang bernama Abdul Hamid yang masih mukim di Makkah sudah kehabisan bekal karena orang tua dan keluarga besar sudah sulit untuk mengirimkan biaya hidup, untuk pulang ke tanah airpun sepertinya juga sudah susah. Akhirnya ada sebuah keluarga yang tinggal di dusun Gunung Agung Tengah, suaminya berasal dari dusun Meringang dan istrinya berasal dari dusun Gunung Agung dan termasuk keluarga berada. Dari pihak suaminya, bila ditelusuri masih ada hubungan kekerabatan dengan keluarga Abdul Hamid. Keluarga ini menawarkan diri untuk membantu kepulangan Abdul Hamid dari Makkah, dan singkat cerita, maka Abdul Hamid dengan bantuan dari keluarga tersebut dapat kembali pulang ke tanah air lalu kemudian dijodohkan dengan salah satu anak perempuan keluarga itu. Haji Abdul Hamid pun kemudian bermukim di dusun Gunung Agung dan menjadi mualim/ustadz di wilayah itu. Tidak berapa lama, setelah memiliki keturunan sebanyak tiga orang anak yang masih kecil, Haji Abdul Hamid pun meninggal dunia.
Kembali ke kisah Haji Muhammad Thoyib yang menjadi khatib di dusun Rempasai sangat fanatik dengan Islam, memiliki banyak keterampilan, bisa membuat alat-alat untuk berburu binatang, seperti rusa, kijang, kancil, ayam hutan, bahkan sangat terampil menangkap ikan di perairan hulu sungai Lematang. Sangat tekun juga berkebun dan membuat sawah, bahkan menurut cerita, Haji Thoyib memiliki banyak tanaman enau dan setiap pohon diambil airnya untuk dibuat gula merah. Haji Thoyib juga menggiling sendiri tebu untuk dibuat gula putih/gula tebu. Hasil panen padi/sawah sangat banyak, gudang tempat penyimpanan padi (tengkiang) selalu penuh, bahkan saat musim paceklik, penduduk sekitar dusun sering datang untuk minta padi dengan Haji Thoyib. Beliau benar-benar menjadi tokoh panutan, baik di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, maupun menjadi tokoh adat dan tokoh agama. Beliau memiliki enam orang anak, empat perempuan dan dua orang lelaki. Dua anaknya yang lelaki disekolahkan ke Kota Pagaralam, bahkan anaknya yang bernama Abdul Satar sejak SMP telah disekolahkan ke Jakarta, anaknya yang kedua bernama Ahmad Juri beberapa waktu kemudian juga menyusul kakaknya sekolah untuk tingkat SMA di Jakarta. Saat itu masih sangat langka orang sekolah, apalagi sekolah di Jakarta sekitar tahun 50-an. Ada cerita menarik saat kedua anak ini cost di sebuah keluarga perwira polisi di kawasan Matraman Jakarta. Karena kedua anak ini tampilan fisiknya putih, mata sipit, agak mancung seolah-olah seperti anak orang kaya dari Sumatera atau seperti anak juragan Cina. Rumah tempat mereka berdua cost lumayan besar, dengan halaman yang luas depan dan belakang, ada taman-taman bunga yang indah, dan di bagian belakang disiapkan tempat cost dan bagian sudut belakang disiapkan khusus untuk tukang kebun bunga dan pembantu rumah tangga. Suatu hari, sang pembantu rumah tangga datang membawa makanan untuk dihidangkan ke tempat kamar cost mereka berdua, dengan sangat sopan pembantu ini menghidangkan makanan, bahkan dengan cara jongkok persis seperti abdi dalem melayani sang sultan seperti di Keraton Jogja. Lalu, Abdul Satar menegur orang itu dan mengatakan “anda jangan melayani kami seperti itu, kami berdua sama dengan anda, kami dari kampung juga seperti anda,” mungkin karena tampilan fisik seperti orang kaya, maka mereka melayani persis seperti melayani tuannya. (ditulis tanggal 17 Ramadhan 1437/22 Juni 2016)
Dua beradik ini dengan kesibukannya masing terus menekuni pelajarannya, sampai kemudian Abdul Satar ini masuk kuliah untuk bidang keguruan dan Ahmad Juri tidak selesai SMAnya akhirnya hanya mengikuti kursus Bahasa Inggris saja. Dalam buku catatan harian Ahmad Juri (tahun 1957) ditemukan sebuah lagu yang sempat dihapalkannya, lagu dengan judul “Innamorata” dengan liriknya sebagai berikut: 

If our lips should meet, innamorata
Kiss me kiss me sweet, innamorata
Hold me close and say you're mine
Where the love is warm as wine

I'm in Heaven's door, innamorata
Want you more and more, innamorata
You're a symphony, a very beautiful sonata, my innamorata
Say that you're my sweetheart, my love

You're a symphony, a very beautiful sonata, my innamorata
Say that you're my sweetheart, my one and only sweetheart
Say that you're my sweetheart, my love


Dalam catatan hariannya, Ahmad Juri pernah menuliskan bahwa dia pada suatu hari diajak oleh keluarga besar tempat cost pergi wisata ke daerah Cipanas Bogor. Beliau menuliskan bahwa baru satu kali ini dia melihat pemandangan yang sangat indah melalui jalan puncak dengan kebun teh yang rapi hingga sampai di istana negara di Cipanas.

Singkat cerita, kata kakaknya, kalau hanya kursus saja di Jakarta ini terlalu besar biayanya dan kasihan dengan orang tua di kampung. Akhirnya setelah mereka berdua bermusyawarah, diputuskan bahwa Ahmad Juri pulang ke Pagaralam, mengelola lahan perkebunan di dusun yang cukup luas, namun sebelum pulang, Ahmad Juri sempat menemui tiga orang tukang kebun tempat cost dan menawarkan kepada mereka bertiga untuk ikut ke Sumatera. Dengan segala iming-iming yang meyakinkan, maka ketiga tukang kebun taman inipun ikut juga ke Pagaralam tanpa sepengetahuan pemilik rumah cost. Di perjalanan mereka sangat senang, makan bersama dan tidur bersama tanpa sekat dan tanpa perbedaan seperti saat di rumah tuan cost itu. Pendek kata, mereka sangat senang karena mereka diperlakukan  tidak seperti bekerja pada seorang juragan atau tuan. Antara mereka tidak ada perbedaan perlakuan dan semuanya setara. Akhirnya sampailah mereka di dusun Rempasai dan membuka kebun. Ketiga orang inipun menemukan jodohnya di dusun ini dan tetap bekerja dengan keluarga besar Haji Muhammad Thoyib. Beberapa waktu kemudian, Ahmad Juri pun menemukan jodohnya dengan menikahi puteri cantik dari dusun Kuteghaye Darat (sekarang masuk wilayah Kecamatan Pajarbulan Kabupaten Lahat) sekitar 40 km dari dusun Rempasai. Keluarga baru inipun menetap di dusun Rempasai sampai kemudian dengan segala macam rencana yang telah disusun, keluarga baru ini pun mengayuh bahtera rumah tangganya di sekitar pasar Kota Pagaralam, tepatnya di dusun Indragiri (sekarang masuk wilayah Kecamatan Pagaralam Utara, Kota Pagaralam) hingga sekarang. Anak pertama lahir tahun 1962, anak kedua lahir tahun 1964 dan anak ketiga lahir tahun 1966 laki-laki pada malam rabu, diberi nama Hardiyansyah...


Pernikahan ayahnda dan ibunda (1960)


Masa kecil dan masa sekolah
Hardiyansyah dilahirkan pada tanggal 18 Oktober 1966 di Pagaralam dari orang tua yang bersuku/etnis Melayu Besemah/Pasemah. Bagi saya, lahir sebagai orang Melayu Besemah di Pagaralam bukanlah suatu kebanggaan, karena itu bukan pilihan saya. Namun yang sangat beruntung bagi saya adalah saya dilahirkan dari kedua orang tua yang beragama Islam dengan sejarah perjuangan Islam yang panjang dari nenek moyang saya. Betapa gigihnya nenek saya belajar Islam dengan fasilitas yang sangat sederhana belajar Islam melalui Syarikat Islam ke Curup dan naik haji dengan kapal dagang Belanda. Saya bisa membayangkan betapa sulitnya perjuangan itu, saat saya pergi haji tahun 2015 yang lalu, sambil melaksanakan rukun haji, saya terbayang nenek saya yang melaksanakan haji pada zaman kolonial Belanda. Pada usia enam tahun, orang tua saya menyekolahkan saya ke SD Muhammadiyah  No. 3 Komplek Masjid Raya Muhammadiyah Pagaralam. Jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, tetapi harus melewati dua SD, SD Xaverius dan SD Negeri 6.  SD Muhammadiyah tempat saya sekolah kondisinya sangat sederhana, bangunannya terbuat dari kayu dan sudah buruk, belakang sekolah ada kolam yang sangat jorok, karena tempat orang melakukan buang hajat, mencuci, membuang sampah dan lain-lain. Akses masuk ke sekolah ini satu-satunya jalan harus melewati samping masjid tempat wudhu yang juga sering digunakan untuk memandikan jenazah. Seringkali saya melihat orang memandikan jenazah di masjid ini. Namun demikian, nilai-nilai Islam yang diajarkan di sekolah ini sangat kental. Sementara itu, SD Xaverius yang jaraknya lebih dekat dengan rumah kondisinya sangat hebat saat itu, bangunannya indah, kokoh, bersih dan siswanya banyak berasal dari anak orang-orang kaya pedagang Cina, dan orang setempat yang lebih senang dengan pendidikan mereka walaupun berlainan agama. Adapun SD Negeri 6 kondisinya juga tidak begitu berbeda dengan SD Muhammadiyah. Siswa SD Muhammadiyah lebih didominasi anak-anak keturunan Minang (biasa dipanggil dengan sebutan jeme Padang), yang jumlahnya lebih kurang 70%, guru-gurunyapun didominasi dari orang Minang, sehingga saya sangat familiar dengan bahasa Minang/Padang. Dari sekolah inilah saya banyak belajar tentang kemajemukan dan belajar Islam, mulai dari tatacara shalat, sampai ke masalah aqidah, ibadah, dan ke-muhammadiyah-an yang kemudian menjadi fondasi awal saya memahami Islam. Bahkan sampai sekarang saya masih hapal lagu mars Muhammadiyah dan lagu-lagu muktamar Muhammadiyah di Padang dan muktamar Muhammadiyah yang ke 40 di Surabaya. Belakangan saya baru tahu mengapa saat itu orang tua memasukkan saya ke SD Muhammadiyah, tidak ke sekolah lain. Di samping memang bapak saya dulunya alumni Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah Pagaralam, ternyata beliau ingin menanamkan nilai-nilai Islam kepada saya sejak dini, walaupun bapak saya bukanlah pengamal Islam yang taat, tapi berdasarkan "catatan harian tahun 1956" saat beliau sekolah di Jakarta dulu, pernah saya baca bahwa beliau sangat setuju dengan Partai Masyumi pimpinan Mohammad Natsir bahkan dalam catatan itu beliau sangat setuju Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pernah suatu hari saat liburan, kami semua bersama-sama sepupu yang lain dari Lahat pulang ke dusun Rempasai dan bertemu dengan nenek saya Haji Muhammad Thoyib, saat ditanya sekolahan oleh nenek, ada yang menjawab bahwa dia sekolah di sekolah Santo Yosef Lahat. Nenek saya tidak marah, tapi beliau mengatakan kalau masih sekolah disana, bilang sama orang tuamu agar tidak usah lagi pulang ke dusun menemui nenek.
Selama lebih kurang 6 tahun sekolah di SD Muhammadiyah, hari-hari saya habiskan untuk bermain-main. Membuat mobil-mobilan sendiri dari kayu bekas kotak sabun, atau juga dari bambu, mencari ikan di parit atau di pinggir sawah, main kelereng, dan yang paling seru adalah main layang-layang, kadang didapat dari mengejar layang-layang yang putus atau membuat sendiri. Masa SD inipun saya pernah berjualan es lilin atau es mambo, atau juga jualan empek-empek. Uang hasil jualan itu saya tabung dan uangnya pernah saya belikan jaket seharga Rp 3500 (tiga ribu lima ratus rupiah). Hampir tidak ada prestasi yang saya dapatkan selama mengikuti sekolah dasar ini. Betul-betul masa-masa ini dihabiskan untuk bermain dan belum tahu arti dari sekolah yang sesungguhnya. Pada masa ini, pemerintah sempat memberikan tambahan waktu setengah tahun, sehingga masa SD menjadi 6,5 tahun. Saya masih ingat, saat ujian kelulusan, kami ikut menginduk di Sekolah Dasar Negeri 7 Pagaralam, dan Alhamdulillah saya dinyatakan lulus dengan nilai cukup dan memperoleh 2 ijazah, ijazah dari SDN 7 dan dari SD Muhammadiyah 3 tahun 1979. Karena nilainya cukup (pas-pasan), maka saya tidak diterima di SMP Negeri (satu-satunya SMP Negeri saat itu di Pagaralam). Padahal kalau orang tua saya mau memasukkan saya ke SMPN dengan bantuan kakaknya yang saat itu sebagai Kepala SMA Negeri Lahat (Abdul Satar) bisa saja, tetapi orang tua saya tidak mau melakukan cara itu. Saya akhirnya diterima di SMP PGRI 1 Pagaralam, dengan alasan sebagian besar gurunya berasal dari SMP Negeri. Waktu belajar dimulai siang hari dengan menumpang di ruang kelas SMP Negeri.
Hari-hari pertama masuk SMP sangat menyenangkan, karena bisa berkenalan dengan teman-teman dari berbagai dusun, siswanya sangat banyak dan sangat majemuk, saya masuk di kelas 1F, dan gurunya juga banyak. Setiap mata pelajaran diajar oleh satu orang guru. Memang sangat berbeda dengan masa SD dimana siswanya sedikit dan mayoritas dari anak-anak Minang/Padang, gurunya juga sedikit dan didominasi juga orang Minang, sementara di SMP sangat heterogen, baik siswanya maupun gurunya. Pada masa SMP ini pula saya banyak mengenal kosa kata bahasa asli Besemah, karena banyak anak-anak dusun yang bertutur dengan bahasa asli Besemah yang sebelumnya sangat jarang bahkan belum pernah saya dengarkan. Masa SD justeru kosa kata dalam bahasa Minang lebih sering saya dengar. Pada masa SMP inilah saya mulai mengenal sekolah yang sesungguhnya dengan mata pelajaran yang lebih banyak, tapi porsi pelajaran agama sangat sedikit dibanding dengan SD Muhammadiyah. Alhamdulillah saya bisa berprestasi pada masa SMP ini, saya pernah juara 2 dalam kelas 2, dan juara satunya teman saya bernama Mgs. Hendri (teman sekelas saya waktu di SD Muhammadiyah, alumni Pendidikan Kimia IKIP Jakarta, sekarang beliau almarhum). Alhamdulillah dalam kurun waktu 3 tahun saya dapat menyelesaikan pendidikan SMP tahun 1982 dengan baik dengan nilai yang sangat memuaskan. Karena nilai akhir saya lumayan bagus, maka saya diterima di SMA Negeri Pagaralam (satu-satunya SMA negeri saat itu di Pagaralam). Seiring perjalanan waktu, saat naik kelas 3 SMA, saya mendapat tawaran dari kakak saya, Indriani untuk pindah ke SMAN 1 Palembang. Mertua kakak saya adalah kepala Tata Usaha SMAN 1 Palembang. Ternyata SMAN 1 Palembang merupakan sekolah favorit di kota Palembang, banyak anak-anak pejabat yang sekolah di sini, suasananya berbeda 180 derajat dengan SMA di Pagaralam. Materi pelajaranpun rasanya masih jauh ketinggalan. Pernah pada suatu hari, seorang guru fisika membuat contoh soal, lalu setelah itu beliau membuat soal dan ditawarkan kepada para siswa untuk menjawabnya, dengan serentak semua siswa mengacungkan jarinya untuk maju ke dapan menjawab soal dari guru tersebut. Saya melihat suasana itu tentu saja sangat kaget, seingat saya hanya saya yang tidak mengacungkan jari karena saya memang belum paham. Saya salut dengan teman-teman yang hampir semuanya bisa menjawab soal itu dan seraya dalam hati kecil saya berkata, kalau begini suasananya, sulit bagi saya untuk mengikuti pelajaran di SMA ini. Saya dihadapkan pada situasi yang serba sulit, disatu sisi saya masih harus menyesuaikan diri dengan suasana baru, teman baru, budaya baru, cara bergaul yang baru serta cuaca yang baru (panas). Pada sisi yang lain juga saya harus mengejar ketertinggalan materi pelajaran dari SMA di Pagaralam dengan SMA di Palembang. Saya menyadari berbagai kesulitan yang saya temui, baik secara akademis maupun non akademis. Akhirnya, pada semester pertama kelas 3, nilai raport saya lebih banyak yang merah dari yang hitam dan pada ujian akhir kelas 3, saya dinyatakan tidak lulus SMA. Ketidaklulusan itu tidak terlalu membuat saya kecewa karena memang saya sadar bahwa saya belum mampu untuk bisa lulus dan ditambah lagi ada beberapa teman yang juga tidak lulus walaupun mereka dari kelas 1 di SMAN 1 Palembang. Tahun berikutnya saya kembali duduk di kelas 3 SMA dan satu kelas dengan teman yang juga tidak lulus, M. Sholeh namanya, tidak terlalu malu saya tetap di kelas 3, karena ada M. Sholeh ini. Saya dan Sholeh karena tidak lulus dan tetap di kelas 3 SMA nampaknya menjadi warga kelas buncit (di bawah standar) di kelas 3 ini. Perlakuan ini jelas terasa oleh saya dengan melihat dan merasakan sikap dari teman-teman yang ada walaupun ada juga yang tidak seperti itu. Saya sangat merasakan suasana kebatinan bahwa saya masuk dalam kategori di bawah standar mereka. Namun saya nikmati saja dan saya tidak ambil peduli dengan suasana itu. Tanpa terasa akhirnya saya dapat lulus SMAN 1 Palembang tahun 1986 dengan wali kelas saat itu bapak Drs. A. Somad Hamsi yang juga merangkap guru mata pelajaran kimia. Nilai mata pelajaran kimia saya dapat 7 dan nilai mata pelajaran agama Islam mendapat nilai 8. Guru agama Islam saat itu adalah bapak Drs. H. Muhammad Nazir Cikdung, beliau adalah juara MTQ Tingkat Nasional di Pontianak tahun 1985.


Hardiyansyah foto tamat SMA 1986

Masa Sekolah dan Kuliah
Setelah tamat dari SMA Negeri 1 Palembang pada tahun 1986, saya mencoba ikut peruntungan untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) melalui Sipenmaru (seleksi penerimaan mahasiswa baru). Masuk PTN saat itu sangat sulit, persaingan sangat ketat. Saat itu kalau tidak diterima, tidak ada penerimaan mahasiswa PTN jalur lain seperti sekarang ini. Bahkan hanya untuk membeli formulir saja butuh perjuangan yang luar biasa. Saya dan teman-teman harus mengantri dari selesai shalat subuh untuk mendapatkan formulir dan buku panduan masuk PTN. Saat itu belum ada internet, komputer atau juga handphone seperti sekarang. Setelah memperoleh formulir, lama saya merenungkan tentang jurusan kuliah yang akan saya pilih, karena saya sadar bahwa kemampuan saya tidaklah sehebat kawan-kawan saya yang lain. Walaupun saya dari jurusan IPA, namun mata pelajaran IPA tidaklah saya kuasai betul. Karena saya dari jurusan IPA maka saya boleh mengambil empat pilihan, 2 pilihan jurusan IPS dan 2 jurusan IPA. Untuk jurusan IPA saya memilih jurusan FKIP Biologi Unsri, karena kakak sepupu saya ada yang kuliah pada jurusan ini di Unsri (Wisni Harlena namanya dan sekarang sebagai guru pada salah satu SMAN di Bandung karena ikut suaminya yang bekerja sebagai dosen Fakultas Sastra Unpad), jurusan kedua saya memilih FKIP Teknik Mesin, karena ada teman saya saat SMP di Pagaralam yang juga kuliah pada jurusan ini di Unsri, Suwoto namanya dan sekarang sebagai guru di Pagaralam. Lalu untuk jurusan IPS saya memilih jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Lampung dan pilihan berikutnya adalah jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Bengkulu (UNIB). Saya memilih jurusan Kesejahteraan Sosial terinspirasi dari seorang calon mahasiswa yang diterima tanpa tes pada jurusan yang sama yang berasal dari Belitung yang sempat singgah di rumah saudaranya di dekat rumah di Bukit Besar. Singkat cerita, pada waktu yang telah ditentukan, maka sayapun ikut tes. Sambil menunggu pengumuman hasil tes, saya juga mencoba ikut tes masuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah, sekarang Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah. Ada 2 pilihan yang saya ambil, pertama jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam (PAI), dan kedua jurusan dakwah. Pengumuman kelulusan IAIN lebih cepat dari hasil sipenmaru masuk PTN. Alhamdulillah hasil tes diumumkan dan saya dinyatakan lulus untuk jurusan Tarbiyah PAI. Setelah lulus, maka diumumkan untuk segera membayar biaya kuliah dan biaya penataran P4 bagi mahasiswa baru. Sayapun kemudian ikut penataran P4 selama lebih kurang 2 pekan. Saat pelaksanaan penataran P4 itulah pengumuman penerimaan PTN diumumkan via koran dan saya mencari koran di lapangan Unsri setelah shalat subuh. Alhamdulillah dengan perasaan yang sangat senang saya melihat ada nama saya di koran itu, tapi saya belum tahu pada jurusan apa saya diterima. Setelah saya mencocokkan dengan formulir pendaftaran, ternyata saya diterima pada jurusan Kesejahteraan Sosial UNIB. Saya ragu, apakah melanjutkan di IAIN atau di UNIB. Namun kemudian saya berketetapan hati untuk memilih kuliah di UNIB dengan pertimbangan bahwa sambil kuliah saya juga berusaha untuk mempelajari Islam. Saya juga melihat bahwa prospek karir ke depan lebih berpeluang kalau saya kuliah di UNIB dan tingkat persaingan masuk ke UNIB saat itu lebih tinggi dibanding masuk ke IAIN. Hasil pengumuman bahwa saya diterima di UNIB saya laporkan ke ayah/orang tua di Pagaralam. Orang tua juga sempat bingung, karena di IAIN uang SPP sudah dibayar, tapi saya meyakinkan orang tua bahwa UNIB lebih menjanjikan untuk kehidupan masa depan saya. Orang tua pun setuju atas pilihan saya itu, tapi tidak ada biayanya. Akhirnya, orang tua saya menjual sedikit lahan kebunnya di dusun untuk keberangkatan saya melanjutkan kuliah di Bengkulu. 
Sebelumnya saya belum pernah ke Bengkulu, gambaran saya tentang Bengkulu dan tentang kampus UNIB sama seperti saya membayangkan suasana Palembang dan kampus Unsri di Bukit Besar dengan suasana yang sangat dinamis, ramai para mahasiswa belajar, hampir di setiap gang dan lorong ada bedeng tempat pemukiman mahasiswa. Pendek kata, suasananya sangat hidup, masjid kampus juga hidup dengan berbagai acara dari mahasiswa Unsri. 
Dalam hati saya, nanti saat saya kuliah di UNIB, saya akan coba untuk mencari uang tambahan sebagaimana saya perhatikan beberapa mahasiswa Unsri yang juga sambil mencari uang tambahan untuk keperluan sehari-hari, mengingat orang tua saya yang juga banyak beban yang harus beliau tanggung dengan sebelas orang tanggungan, saya anak ketiga dari sebelas bersaudara. Beliau pernah mengatakan bahwa untuk menyiapkan kebutuhan sandang dan pangan saja butuh biaya yang sangat besar, apalagi ditambah dengan keperluan sekolah, tentu lebih besar lagi. Karena latar belakang seperti itulah kemudian saya bertekad untuk bisa kuliah dengan biaya sendiri.
Sebelum berangkat ke Bengkulu, saya pulang dulu ke Palembang untuk mengurus dan menyiapkan berbagai hal. Rencananya saya akan berangkat ke Bengkulu dari Palembang, dan secara tidak sengaja ada alumni Fakultas Pertanian Unsri yang diterima menjadi dosen di UNIB, namanya M. Faiz Barchia (sekarang Prof. Dr. Ir. M. Faiz Barchia, M.Sc.), kak Faiz ngomong dengan saya bahwa kalau mau ke Bengkulu bareng dia saja, karena kak Faiz mau ke Bengkulu juga. Saya kenal dengan kak Faiz karena masa mahasiswa dia kost di bedeng depan rumah kakak saya di Jalan Ogan Palembang. Singkat cerita, dari Bengkulu saya naik bus Bengkulu Indah dan sesampainya di Bengkulu saya diajak singgah oleh kak Faiz di wisma tempat para dosen baru UNIB, di sana saya juga bertemu dengan kak Hartal yang juga alumni Pertanian Unsri menjadi dosen di UNIB serta berkenalan dengan pak Drs. Budiyono dosen Fisipol UNIB yang belakangan menjadi pembimbing akademik saya.
Pagi-pagi sekali saya harus mendaftar ulang dan diajak bareng oleh kak Faiz dengan menumpang bus karyawan UNIB. Lumayan jauh antara wisma dengan kampus UNIB, sepanjang perjalanan saya sangat kaget ternyata letak kampus UNIB jauh di luar kota dan sangat berbeda 180 derajat dengan yang saya bayangkan seperti suasana kota Palembang dan kampus Unsri. Maklumlah karena perjalanan paling jauh dan kota besar yang baru saya kunjungi hanya Palembang, kampus PTN yang saya kenal hanya Unsri.
Selesai daftar ulang, saya mencari teman satu jurusan. Saya ingat bahwa sebelum ke Bengkulu, saya pernah kenal dengan orang Belitung yang diterima tanpa tes (PMDK) di jurusan yang sama dengan saya, namanya Rausi atau Rosi. Saya cari kawan tersebut dan Alhamdulillah bisa bertemu... saya sampaikan bahwa saya mau cari tempat kost, dan hampir semua tempat kost sudah penuh. Akhirnya saya menumpang dengan teman saya ini yang kebetulan memang satu kamar bisa diisi empat orang, karena tempat tidurnya dua lantai kiri dan kanan. Selama beberapa bulan saya menumpang dengan kawan saya disini, tempat kost milik pensiunan TNI, pak Usman Untung namanya. Beberapa waktu kemudian, saya melihat Rosi kelihatan sering murung dan melamun, mungkin dia tidak tahan dengan suasana Bengkulu dan kampus UNIB. Beberapa teman satu kelas juga sudah ada yang mundur, pulang kembali ke tempat asalnya, ada yang dari Jakarta dan tempat-tempat lain. Akhirnya, teman saya tempat saya menumpang ini juga menyampaikan kepada saya bahwa ia akan berhenti kuliah dan pulang lagi ke Belitung. Akhirnya tinggal saya sendiri menunggu kamar kost dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Saya sangat berterima kasih kepada teman saya Rosi yang telah membantu saya untuk tinggal di tempat kostnya sampai kemudian saya melanjutkan sisa kost yang ada dan saya tidak perlu bayar lagi. 
Ada kisah menarik, karena saya aktivis kampus, pengurus senat, pengurus masjid kampus, pengurus HMI Komisariat Fisipol UNIB, Sekretaris PHBI UNIB, dan pengurus himpunan jurusan. Saya dipanggil oleh dosen pembina kemahasiswaan, bapak Drs. Muhammad Ono Bachtiar, beliau menunjukkan sebuah surat dari Menteri Pemuda dan Olahraga. Beliau mengatakan, ini ada undangan dari Menpora yang ditujukan ke Rektor UNIB dan meminta agar rektor mengirimkan utusan perwakilan mahasiswa dengan syarat mahasiswa yang aktif di kampus untuk mengikuti Latihan Kepemimpinan Pemuda dan Penataran P4 Tingkat Nasional di Jakarta selama sebulan, dan pak Ono, biasa kami panggil, menanyakan kepada saya, berapa nilai Penataran P4 saya, saya jawab B. Karena saudara Hardiyansyah aktivis kampus dan nilai penataran juga bagus, maka saya memberikan rekomendasi untuk mengikuti kegiatan ini. Singkat cerita, saya diberi surat tugas dari Rektor UNIB, bapak Dr. Ir. Soekotjo untuk mengikuti kegiatan dimaksud. Karena waktu pelaksanaannya sudah dekat, maka saya diberi biaya untuk naik pesawat yang kebetulan ada pesawat yang baru saja mengantar transmigrasi, namanya pesawat Hercules, biayanya murah. Saat itu belum ada Bandara Soekarno-Hatta, yang ada baru Bandara Halim Perdanakusumah. Sebelumnya saya belum pernah ke Jakarta, bahkan belum pernah naik pesawat terbang. Untung ada bapak-bapak satu pesawat, saya bertanya kepadanya bagaimana cara ke Kantor KNPI Pusat, saya diarahkan untuk naik bus dari terminal Cililitan dan bilang dengan sopir bus untuk berhenti di depan Kantor Menpora yang berdekatan dengan Kantor KNPI Pusat. Kami dikumpulkan disana, lalu setelah semua peserta dari berbagai daerah kumpul, kami dibawa ke Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur. Selama sekitar satu bulan kami ikut pelatihan, narasumbernya banyak, yang masih saya ingat ada Panglima ABRI, Jenderal Benny Moerdani, Menteri Dalam Negeri Jenderal Rudini, Menpora Ir. Akbar Tandjung, Menkokesra Soperdjo Roestam, dan yang lebih mengesankan lagi kami diundang untuk temu wicara dengan Presiden Soeharto di Peternakan Sapi Tapos Ciawi, kami diajak keliling peternakan yang daerahnya sangat dingin. Kami juga diundang untuk mengikuti Upacara Bendera Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di istana negara Jakarta. Sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan. 

Riwayat Pekerjaan
Pada tahun 1988 saya berkenalan dengan seorang ustadz, namanya H. Syafruddin Zakaria Labay, Lc. (Alumni King Saud University Riyad-Arab Saudi), Sekretaris Umum Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) Wilayah Bengkulu. Perkenalan diawali dari ba'da shalat jumat di Masjid Raya Muhammadiyah Bengkulu. Dari sekian banyak para khotib yang saya dengarkan di berbagai masjid di Kota Bengkulu dan Kota Palembang (saat masih SMA), baru satu khotib ini yang membuat saya cukup terkesan. Baik gaya khutbahnya maupun materi yang disampaikan. Akhirnya saya memberanikan diri untuk berkenalan dengan beliau. Karena saat itu saya aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) Wilayah Bengkulu (terakhir saya sebagai Sekretaris Umum PII Wilayah Bengkulu) dan beliau ternyata sebagai "KB" istilah teman-teman PII, yaitu sebagai keluarga besar, karena beliau adalah mantan ketua PII Bengkulu. Bahkan dari PII itulah beliau mendapat rekomendasi dari Bapak Mohammad Natsir, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonseia (DDII) Pusat (mantan Ketua Umum Masyumi/Perdana Menteri RI zaman RIS) untuk mendapat beasiswa kuliah ke Arab Saudi. Singkat cerita, akhirnya saya banyak belajar tentang Islam dengan beliau. Bahkan terinspirasi dari beliau pula saya berlangganan majalah "Media Da'wah" terbitan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang beralamat di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta. Majalah tersebut banyak mengupas tentang dakwah dan perjuangan politik Islam Masyumi serta kiprah pak Natsir dalam dunia dakwah (Islam) dan politik di Indonesia. Walaupun saya tidak pernah bertemu dengan pak Natsir, saya mengidolakan beliau melalui tulisan-tulisannya, sampai kemudian saya sangat berkeinginan untuk menemui beliau. Namun sayang keinginan tersebut tidak pernah terwujud sampai  beliau wafat pada tanggal 6 Februari 1993 di Jakarta. Tahun 1989 saya pernah ke Jakarta dan sempat melihat sekilas sekretariat DDII Jalan Kramat Raya No. 45 yang menyatu dengan Masjid Al-Furqon. Saat itu beliau masih hidup namun saya tidak ada akses untuk menemui beliau. Semoga almarhum mendapatkan nikmat di alam barzah. 



                    Foto bersama Presiden Soeharto di Peternakan Sapi Tapos Ciawi Bogor (1989)



               Bersalaman dengan Presiden Soeharto di Peternakan Sapi Tapos Ciawi Bogor 1989


      Bersalaman dengan bapak Soepardjo Roestam (Menkokesra era Presiden Soeharto), 1989.
 
Karena saya ngaji dengan pak Syaf hingga larut malam, maka seringkali saya tertidur di rumah beliau. Ustadz H. Syafruddin yang biasa saya panggil pak Syaf, juga memiliki lembaga pendidikan yang merupakan warisan dari ayah beliau H. Zakaria Labay (tokoh Islam di Bengkulu). Lembaga pendidikan itu bernama Pendidikan Thawalib Bengkulu. Pendidikan Thawalib memiliki SD dan SMP Thawalib, dan dari sinilah saya mulai belajar bekerja dengan menjadi guru tidak tetap SMP Thawalib. Awalnya saya hanya membantu pak Syaf sebagai tanda terima kasih saya yang telah banyak belajar dengan beliau tentang Islam, saya waktu itu betul-betul ikhlas hanya membantu dan dalam hati saya tidak perlu saya dibayar. Tapi kemudian oleh pengelola yang lain saya betul-betul dijadikan sebagai pengajar dan diberikan honor mengajar untuk mata pelajaran biologi. Dari sinilah pertama kali saya "bekerja" sebagai guru. Seiring dengan kesibukan saya dalam kuliah dan organisasi, maka saya izin kepada pengelola untuk tidak mengajar lagi di SMP Thawalib dengan alasan agar lebih konsentrasi dalam kuliah.
Pada Juni 1991 saya selesai kuliah, dan merupakan alumni terbaik pada angkatan wisuda Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu dengan IP Kumulatif =3, 19. Oleh karenanya pihak universitas menunjuk saya untuk mewakili para wisudawan-wisudawati menyampakan pidato ucapan terima kasih para wisudawan kepada Universitas Bengkulu. 

Saat Wisuda Sarjana Juni 1991 bersama kedua orang tua


Selesai kuliah saya ditawari oleh beberapa orang teman untuk bekerja di Pemda Bengkulu, namun sama sekali tidak ada terbersit dalam hati saya untuk bekerja di Pemda, saya justru sangat berharap bisa mengabdi pada almamater saya di Fisipol UNIB sebagai dosen, dalam pikiran saya profesi sebagai dosen lebih sesuai dengan hati dan jiwa saya. Setelah ijazah dan transkrip nilai saya dapatkan, maka segera saja saya menghubungi ibu dekan Fisipol UNIB yang waktu itu dijabat oleh Dra. Samsinah Ansori, yang kebetulan baru saja menjabat sebagai dekan menggantikan bapak Drs. H. Hasnul Basri dengan maksud saya ingin kembali mengabdi pada Fisipol sebagai tenaga pengajar. Namun betapa kecewanya saya, jawaban yang saya terima dari ibu dekan tersebut, karena tidak ada formasi untuk jurusan saya, dan beliau menyarankan agar mencari pekerjaan di tempat lain saja. Andaikan saat itu dekan Fisipol masih bapak H. Hasnul Basri, maka menurut Kabag. Tata Usaha Fisipol UNIB, saya akan dapat menjadi tenaga pengajar, karena pengalaman yang sudah-sudah setiap alumni dengan nilai yang bagus akan diutamakan menjadi dosen di Fisipol UNIB.
Akhirnya saya mencoba melamar menjadi dosen di Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. (UNIHAZ) Bengkulu, namun seiring dengan itu, karena tempat kontrakan bedeng sudah habis, sementara biaya untuk memperpajang kontarakan tidak ada lagi, maka saya kembali ke Palembang dan ada panggilan untuk wawancara di Unihaz tidak saya ikuti lagi, selamat tinggal Kota Bengkulu yang penuh kenangan, selamat tinggal teman-teman, ikhwah, murobbi, dan masjid Darul Ulum Kampus UNIB, yang telah membentuk karakter, jati diri dan tonggak sejarah perjuangan berikutnya.


 Foto tamat kuliah (saat tes CPNS) tahun 1992

Di Palembang, saya kembali menumpang di rumah kakak saya (tahun 1984-1986 saya juga tinggal di rumah kakak saya, saat SMA). Tahun 1992 saya mencoba melamar jadi dosen di STISIPOL Candradimuka Palembang, alhamdulillah saya diterima. Tapi sayang, antara kampus tempat mengajar dengan rumah kakak saya cukup jauh. Ongkos kesana lumayan mahal dan susahnya lagi ternyata honor yang diberikan tidak lancar serta nilainya juga tidak seberapa. Saya berusaha untuk tetap sabar, karena belum ada pilihan lain, dan sekalian saya cari teman, cari relasi dan memperluas pergaulan. Saya memasuki masa-masa yang sulit, pekerjaan sebagai dosen honor tidak menjanjikan, uang tidak ada, kadangkala dengan memberanikan diri minta uang dengan kakak, kadangkala saya tidur di tempat teman saya yang sedang menyelesaikan skripsi di Unsri atau tidur di masjid komplek SMA Negeri 1 Palembang, tempat saya sekolah dulu. Untunglah saya dapat segera kembali bergabung dalam pengajian pekanan di Palembang.
Pada suatu hari, lupa tanggalnya, tahun 1992 saya membaca koran Sriwijaya Pos (Sripo), dalam koran tersebut mata saya tertuju pada sebuah iklan penerimaan PNS yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Dalam formasi tersebut, di antaranya ada jurusan (bidang ilmu) saya. Semula saya tidak begitu antusias untuk melamar, karena sudah biasa saya mendengar bahwa untuk dapat diterima bekerja, apalagi di Pemda, harus menyediakan uang yang tidak sedikit untuk menyogok. Namun, didorong oleh kebutuhan untuk mencari pekerjaan yang tetap, karena sangat tidak mengenakkan kalau hanya jadi dosen honor dan sangat sering minta uang dengan kakak, maka dengan bismillah sayapun melengkapi persyaratan untuk ikut seleksi. Semua berkas saya kumpulkan, dan menurut ketentuan, semua pelamar harus memasukkan berkasnya melalui Pemda Kabupaten atau Pemda Kota. Sayapun memilih Pemda Lahat untuk tempat seleksi. Dalam hati saya, saya bicara bahwa saya sekali-kali tidak akan menyogok, di samping memang tidak sesuai dengan prinsip hidup saya, uang untuk menyogokpun tidak ada. Jangankan untuk menyogok, untuk biaya kuliah saja selama ini juga sangat sulit. Pokoknya saya akan berusaha dengan hanya mengandalkan prestasi saya selama kuliah.

Singkat cerita, setelah selesai tes, dan kebetulan masuk bulan Ramadhan, maka sepanjang bulan Ramadhan saya selalu berdoa kepada Allah, bunyi doa saya tersebut "Ya Allah kalau memang pekerjaan ini baik untukku, baik untuk kedua orang tuaku, baik untuk keluargaku, baik untuk hidup dan matiku nanti, maka ya Allah berikanlah kemudahan dan bantulah saya agar diterima dalam pekerjaan ini, tetapi kalau sebaliknya ya Allah, biarlah saya tidak diterima dan hamba mohon berikan pekerjaan lain yang lebih baik". Setelah sekian lama menunggu, Alhamdulillah, pada saat pengumuman kelulusan, saya dinyatakan diterima (sesuai dengan pengumuman di koran) dan untuk jurusan saya hanya 2 orang yang lulus, nomor 1 namanya Dra. Amnes Kadarwasti (Alumni Fisipol UGM) dan nomor 2 saya sendiri. Membaca pengumuman kelulusan tersebut, saya sangat gembira, ingin rasanya saya sujud syukur saat itu. Ini adalah kegembiraan yang luar biasa yang pernah saya rasakan setelah pada tahun 1986 saya dinyatakan lulus Sipenmaru yang diumumkan di koran di Palembang.

 Mengikuti LPJK dan Latsarmil 1993

Setelah melalui proses panjang, barulah pada tahun 1993 saya beserta teman-teman yang lulus PNS Pemprov. Sumsel diikutkan pada Latihan Dasar Kemiliteran (Latsarmil) selama sebulan di Palembang. 
Setelah itu, kami ditempatkan pada masing-masing daerah. Saya beserta teman lainnya ditempatkan di Kab. Lahat, tepatnya di Dinas Sosial Kab. Lahat. Bulan pertama saya di Lahat, suasananya sangat berbeda, pembicaraan sebagian besar memang berkutat masalah pekerjaan dan "proyek", sangat kontradiktif dengan suasana kampus. Rasanya saya tidak betah, berhari-hari suasana kerja membosankan, membosankan, dan membosankan. Tapi saya masih berkeyakinan dengan doa saya dulu sebelum diterima sebagai PNS. Saya tetap bertahan dengan dinamika dan kenyataan tersebut.
Tahun 1994 saya diangkat penuh sebagai PNS (100%). Langsung saya diberikan jabatan eselon V.b. sebagai Kepala Sub Seksi. Interaksi dengan berbagai kantor dan teman-teman sesama PNS sudah semakin normal, tetapi tetap saja belum begitu betah. Pada bulan Oktober 1994 saya pun menemukan jodoh, dan menikah dengan gadis manis bernama Dra. Aspi Zaitun, S.Psi. binti Haji Muflihun, B.A. alumni Universitas Muhammadiyah Surakarta, berdarah Jawa kelahiran Pagaralam. (setelah diterima di PTN, lalu lulus tes PNS, saya merasakan kegembiraan yang luar biasa, maka saat lamaran saya diterima untuk menikah, merupakan kegembiraan yang sama hebatnya).

Foto setelah akad nikah tanggal 24 Oktober 1994 di Kauman Pagaralam

Tahun 1996 saya dipindahkan ke kantor BP-7 Kab. Lahat sebagai Kepala Seksi Pendidikan yang bertugas melaksanakan kegiatan penataran P4. Karena saya pernah ikut Penataran P4 Pola 144 Jam/Calon Penatar di Jakarta, dan memiliki SK sebagai Penatar dari BP-7 Pusat, maka sayapun disamping sebagai pejabat eselon V.a, saya juga bertugas sebagai penatar P4. Hari-hari saya lalui dalam bertugas di BP-7 lumayan berkesan, hampir di seluruh kecamatan dalam wilayah Kabupaten Lahat pernah saya masuki dan pernah memberikan penataran. Apalagi pada waktu kepala BP-7-nya bapak Kalamuddin, S.H. (belakangan menjadi Bupati Muara Enim/sekarang alm.) sangat mengapresiasi saya untuk selalu menjadi penatar di berbagi kesempatan pelaksanaan penataran, baik di desa-desa, maupun penataran pada kalangan PNS. Saya sangat terhibur berkarir di BP-7 (walaupun materi P4 tidak begitu berkenan dihati saya, namun saya bisa mengemas materi P4 tersebut dengan nilai-nilai Islam). Tidak lama kemudian, kepala BP-7 diganti dengan pejabat yang baru (berasal dari Kab. Musi Banyuasin bapak Drs. Abdul Azim). Dengan kepala BP-7 yang baru ini pun, saya diberikan apresiasi, hampir disetiap kegiatan penataran saya dipercayakan untuk memberikan materi (menatar), bahkan saya diusulkan untuk menjabat eselon IV.a sebagai kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan. Sesuai dengan instruksi presiden, semua PNS harus mengikuti penataran dan semua biaya dibebankan pada APBD masing-masing daerah. Lalu, saya pun atas perintah kepala BP-7 membuat usulan proyek penataran P-4 bagi PNS eselon IV di Lingkungan Pemda Lahat. Singkat cerita, usulan pun disetujui dan saya pun diusulkan untuk menjadi Pimpro Pentaran P-4 bagi PNS Eselon IV di lingkungan Pemda Lahat. Selanjutnya, saya menyusun pembagian/alokasi dana penataran sebelum proyek dilaksanakan. Dari anggaran dana yang ada, saya pun membagi berbagai kebutuhan, mulai untuk belanja alat dan bahan, upah, konsumsi, perjalan dinas dan lain-lain, semuanya sudah saya atur dengan baik. Harapan saya agar pembagian alokasi dana tersebut dapat berjalan dengan baik, maka dana yang ada betul-betul saya atur sedemikian rupa, dan jangan lagi dana tersebut diotak-atik untuk hal-hal yang tidak jelas. Proyek penataran tersebut dianggarkan untuk empat angkatan, dan untuk tahun berikutnya akan diusulkan kembali. Pada saat angkatan pertama dilaksanakan, mulailah kepala BP-7 macam-macam, beberapa dana yang sudah saya alokasikan dan telah disetujui oleh bupati, hendak dimanfaatkan oleh kepala BP-7, padahal alokasi dana untuk kepala BP-7 sebagai atasan pimpro sudah diatur dan lumayan besar. Tetapi tetap saja dia ingin mengambil yang bukan haknya. Informasi itu disampaikan oleh bendahara proyek kepada saya selaku pimpro. Saya pusing mengatur dana penataran tersebut dan akhirnya saya bilang dengan bendahara proyek, kalau kepala BP-7 tetap ngotot ingin mengambil dana proyek tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah dialokasikan, silakan saja dan semua kegiatan penataran tersebut silakan saja ambil alih oleh kepala BP-7. Singkat cerita, akhirnya secara tertulis saya mengundurkan diri sebagai pimpro, dan Alhamdulillah disetujui, saya pun selamat dari kegiatan proyek yang seperti itu. Tahun 1998, tuntutan reformasi yang disuarakan mahasiswa dan para tokoh berhasil dengan tumbangnya kekuasaan regim Orde Baru melalui lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan sebagai presiden selama 32 tahun. Seiring dengan itu, lembaga BP-7 yang bertugas memasyarakatkan nilai-nilai P4 (yang dianggap sebagai alat propaganda penguasa) ikut juga dibubarkan. Lalu, sayapun dipindahkan ke Dinas Sosial, tempat pertama kali saya bertugas. Namun sebulan kemudian, hasil musyawarah cabang (Muscab) Korpri Kab. Lahat memutuskan saya terpilih sebagai Sekretaris DPC Korpri Kab. Lahat mendampingi Ketua Korpri terpilih bapak Drs. H.M. Imron Marus yang juga selaku Sekda Kab Lahat. Karena jabatan itu pula (Sekretaris Korpri), saya pindah kantor lagi, yaitu di Sekretariat Korpri Kab. Lahat. Namun, pada saat masih berkantor di BP-7, saya sempat ditugaskan oleh Bupati Lahat untuk ikut seleksi penerimaan S2 UGM, dan Alhamdulillah beberapa waktu kemudian, saya dinyatakan diterima. Tapi sayang, biaya kuliah S2 tersebut belum dianggarkan dan menurut ketentuan dari UGM, bahwa masa berlaku hasil tes tersebut selama 2 tahun. Harapan saya, saya dapat kuliah pada tahun berikutnya, dan atas saran kawan di Bagian Kepegawaian, saya lalu menyampaikan surat permohonan kepada Bupati agar saya ditugaskan untuk mengikuti kuliah S2 di UGM. Alhamdulillah Bupati menyetujui permohonan saya. Singkat cerita, sayapun menghubungi pihak PPs UGM dan sayapun disetujui untuk kuliah Angkatan XXI. Sayapun segera mengajukan permintaan biaya kepada Bupati, Alhamdulillah kembali disetujui. Pada saat persetujuan tersebut saya bawa ke Bagian Keuangan, ternyata kas Pemda masih kosong, sayapun tidak kehilangan jalan. Karena saya Sekretaris Korpri, dan saya tahu keadaan keuangan Korpri, maka sayapun mengajukan pinjaman uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada Korpri dan setelah dana dari Pemda cair maka akan segera dibayarkan ke Korpri kembali.


Saat Wisuda S2 UGM bersama kedua orang tua (2002)

Lalu sayapun berangkat kuliah, sekitar 2 tahun saya di Jogja, anak dan istri saya boyong semua ke Jogja. Alhamdulillah, dalam waktu kurang sedikit 2 tahun, saya selesai kuliah dan kembali ke Lahat. Singkat cerita, saya ditempatkan sebagai staf pada Badan Kepagawaian Daerah (BKD) Kab. Lahat. Teman saya yang juga sebagai Kepala Bappeda Kab. Lahat menawarkan kepada saya agar saya sekantor dengannya, sayapun sangat setuju. Beliau kemudian menghubungi Kepala BKD dengan maksud agar saya ditempatkan di Bappeda, tapi sayang Kepala BKD mengatakan bahwa harus melalui proses rapat Baperjakat (Badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan) terlebih dahulu. Karena saat itu golongan saya baru III/c, dan jabatan yang cocok untuk golongan III/c adalah eselon III.b dan eselon III.b hanya jabatan camat, maka oleh Kepala BKD kalau saya berminat jadi camat, maka harus jadi Sekcam lebih dulu. Saya katakan; Sekcam dimana? beliau menjawab jadi Sekcam di Kecamatan Pajarbulan, lalu saya katakan, bagaimana kalau jadi Sekcam di Kota Lahat atau di Kec. Merapi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya. Beliau (Kepala BKD) mengatakan; "kalau Sekcam Lahat itu jatah bapak Bupati, dan sekcam Merapi ada juga pejabat yang pegang. (dalam hati saya, kalau jabatan Sekcam saja sudah dikapling oleh para pejabat, bagaimana dengan jabatan yang lebih tinggi dari Sekcam). Mulailah pikiran saya berkecamuk, antara idealisme yang saya peroleh selama kuliah S2 di UGM dengan situasi yang saya hadapi. Hati kecil saya mengatakan; sulit bagi saya berkarir di Pemda kalau suasananya seperti itu. Akhirnya saya minta waktu untuk berunding dulu dengan istri saya sebelum meng-iya-kan tawaran sebagai sekcam Pajarbulan. Singkat cerita, saya putuskan untuk tidak menerima tawaran sebagai sekcam dan biarlah saya tidak menjadi camat. Belum satu pekan, sayapun kembali ingin melaporkan tentang penolakan saya atas tawaran untuk menjadi sekcam. Tapi sayang ternyata usulan sebagai sekcam sudah diproses untuk di SK-kan oleh Bupati. Akhirnya mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, jabatan sebagai sekcam itupun saya terima.
Sayapun kemudian pindah ke Pagaralam (kadang di rumah orang tua, kadang di rumah mertua). Bulan pertama saya bertugas betul-betul merasakan situasi yang tidak nyaman. Saya kembali kesuasana yang lebih parah dari Dinas Sosial, situasi tersebut betul-betul membuat saya tidak bisa bertahan. Kemudian saya berunding lagi dengan istri; hasilnya bahwa saya pindah kerja saja menjadi dosen Kopertis (bisa di Palembang atau di Lampung). Tapi, timbul pertanyaan; apakah saya diizinkan oleh bapak Bupati Lahat? Saya belum lama pulang dari tugas belajar. Saat itu (sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 masih berlaku), kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD. Apa saja yang diinginkan oleh DPRD, biasanya bupati meng-iya-kan saja.
Kebetulan salah seorang anggota DPRD Lahat ada kakak kelas saya waktu kuliah di Fisipol UNIB, beralamat di desa Rambaikaca Kec. Jarai. Untuk menindaklanjuti rencana saya pindah menjadi dosen, tengah malam sayapun silaturrahim ke rumahnya. Singkat cerita, saya ceritakan keinginan saya itu, dan sebenarnya diapun tidak setuju. Tapi, karena saya sangat berkeinginan untuk segera pindah, maka saya bilang; "Besok tolong temani saya untuk menghadap bapak Bupati untuk meminta persetujuan pindah". Sebab kalau tidak langsung kepada bupati, dikhawatirkan akan sulit. Katakanlah proses usul pindah itu saya mulai dari BKD, dan mereka paham bahwa saya baru pulang, tentu asumsi saya, BKD tidak akan merekomendasikan usul saya tersebut. Akhirnya, tidak sampai 10 menit pertemuan dengan bupati, saya sampaikan maksud dan tujuan saya, dan Alhamdulillah usul tersebut disetujui. Mau rasanya saat itu saya sujud syukur di ruang kerja bupati, tapi tidak saya lakukan. Namun perasaan senang tersebut tidak dapat saya lukiskan dengan kata-kata.
Kemudian, menindaklanjuti persetujuan bupati tersebut, agar proses surat menyurat menjadi lebih lancar, maka seluruh surat usul tersebut saya sendiri yang membuatkan, karena saya juga pernah di BKD dan dengan semua pegawai BKD saya kenal. Setelah itu, saya minta paraf dengan pejabat BKD dan saya juga yang mengantarkan kembali kepada bupati untuk ditandatangani. Tidak lama kemudian, surat turun dan terus saya urus hingga ke Depdiknas di Jakarta. Sambil menunggu SK mutasi, sayapun dimutasikan ke Bappeda Lahat. Sayapun bertemu kembali dengan Ketua Bappeda (H. Eduar Kohar), dan lalu saya dkk dilantik sebagai pejabat Eselon IV.a (Kasubbid. Evaluasi dan Formulasi Rencana Strategis Bappeda Kab. Lahat. Kepala Bappeda sangat apresiasi dengan kehadiran saya, bahkan saya ditugaskan khusus untuk menyusun Renstra Bappeda Kab. Lahat. Beberapa tawaran untuk diklat di Jakarta-pun saya diikutkan. Kelihatannya saya akan betah di Bappeda, namun apa hendak dikata, saya sudah berazzam untuk alih profesi sebagai dosen. Setelah hampir lima bulan proses pindah saya di Depdiknas, maka dapat informasi dari pak Hapidin (Biro Kepegawaian Depdiknas), bahwa SK mutasi saya sudah turun dan tinggal diambil saja ke Jakarta. Alhamdulillah saat itu saya ditugaskan untuk mengikuti diklat Anggaran Berbasis Kinerja di Depkeu di Jakarta dan bak kata pepatah "sambil menyelam minum air", maka SK mutasipun saya ambil. Karena saat itu saya diberikan uang perjalanan dinas, maka sebagian dari uang tersebut saya gunakan untuk memberi hadiah dan tanda terima kasih saya atas bantuan pak Hapidin mengurus SK mutasi tersebut hingga berhasil. Singkat cerita, pada tahun 2003 (lupa bulan berapa, sekitar pertengahan tahun) sayapun mengurus mutasi ke Kopertis Wil. II Palembang, dan melapor kepada Rektor Univ. Bina Darma serta sekalian memindahkan gaji saya dari Pemkab. Lahat ke Kopertis, setelah itu sayapun pamit dengan Ketua Bappeda Lahat.

Meniti Karir sebagai dosen
Setelah berkarir sebagai pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat selama 10 tahun, dari tahun 1993 hingga tahun 2003, sesuai dengan niat awal, maka pada tahun 2003, memulai babak baru bagi pekerjaan/profesi sebagai dosen secara formal. Karena secara informal, saya telah menjadi dosen luar biasa tahun 1992 di Stisipol Candradimuka, dosen luar biasa di STIE Serelo Lahat dari tahun 1995-2003. Banyak hal yang harus dilakukan penyesuaian di tempat yang baru ini. Golongan saya yang baru III/c belum bisa diusulkan ke III/d karena jabatan akademik saya baru Asisten Ahli. Maka sayapun berusaha agar saya bisa mendapatkan jenjang akademik lektor (mulailah segala SK, piagam, sertifikat saya himpun dan sayapun mulai membuat tulisan di jurnal) setelah saya hitung dan cukup, maka saya usulkan jenjang akademik saya ke lektor. Namun sayang, lektor yang saya peroleh hanya kum 200 dan masih belum bisa diusulkan untuk mendapatkan gol. III/d. Akhirnya sayapun kembali berusaha, segala SK mengajar, membimbing skripsi, tugas akhir, tesis, SK kepanitiaan, piagam-piagam, dan lain-lain berkaitan dengan hal tersebut saya kumpulkan. Dua artikel saya Alhamdulillah diterbitkan pada Jurnal Ilmiah JIANA (Terakreditasi) dari Pascasarjana Universitas Riau, dan beberapa tulisan pada Jurnal MBiA Universitas Bina Darma. Setelah saya hitung dan sudah cukup untuk ke jenjang lektor kepala, maka saya usulkan ke Kopertis dan selanjutnya diteruskan ke Dikti Depdiknas dan lebih kurang satu tahun kemudian, SK Penetapan angka kredit dengan jenjang jabatan akademik turun dengan jabatan Lektor Kepala (kum 400) dan dapat diusulkan naik ke gol. III/d hingga IV/a.
Sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan tinggi serta tuntutan profesi sebagai dosen, maka sudah seharusnya saya melanjutkan pendidikan doktor agar kemampuan ilmiah saya makin bagus, wawasan makin luas dan karir makin lebih baik, maka pada awal bulan awal tahun 2007 saya mencoba tes masuk program S3 Agribisnis Unsri, namun sayang saya dinyatakan tidak diterima dengan alasan bidang ilmu S1 dan S2 saya tidak linier dan tidak relevan, akhirnya pada tahun berikutnya melalui email saya masukkan lamaran ke Universiti Kebangsaan Malaysia, ternyata saya juga tidak diterima karena tajuk untuk disertasi yang saya ajukan tidak ada dosen yang siap untuk membimbingnya di UKM. Lalu saya coba juga masukkan ke S3 Ilmu Administrasi Unpad dan S3 Ilmu Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Alhamdulillah di IPB saya dinyatakan lulus, tetapi karena program S3 bidang ilmu tersebut baru buka, maka tidak ada fasilitas beasiswa dari Dirjen Dikti. Karena sangat berat untuk kuliah S3 dengan biaya sendiri, maka kuliah S3 di IPB saya batalkan.  Sayapun mengikuti tes S3 di Unpad, dan Alhamdulillah saya dinyatakan lulus dan mendapatkan beasiswa. 
Tahun 2008 saya mulai kuliah pada Program Doktor Unpad bidang ilmu administrasi. Setelah melalui berbagai dinamika, dan berbagai bentuk ujian yang saya lalui, baik ujian akademik maupun ujian non akademik (faktor ini kadangkala lebih berat), maka pada tahun 2010 saya dinyatakan lulus sebagai kandidat doktor. Setelah itu, sayapun mulai mengajukan proposal penelitian dan dosen promotor. Alhamdulillah, dosen promotor yang saya ajukan, yaitu Prof. Djadja Saefullah, Prof. Josy Adiwisastra dan Dr. Amin Ibrahim semuanya diterima tanpa ada perubahan komposisi. Saya melihat tim promotor ini adalah tim yang ideal, karena berdasarkan data pada perpustakaan Pascasarjana Unpad, tim promotor ini cukup banyak menghasilkan doktor di bidangnya. Saya berkeyakinan, ketiga dosen ini akan sukses mempromosikan saya sebagai doktor. Singkat cerita, pada tahun 2010 proposal yang saya ajukan disetujui dan dinyatakan layak untuk melakukan penelitian disertasi. Setelah bergelut dengan buku-buku referensi, bolak-balik ke perpustakaan dan ke promotor serta ke penelaah naskah disertasi dengan segala dinamikanya sendiri, Alhamdulillah akhirnya naskah disertasi saya disetujui untuk maju dalam ujian naskah disertasi (ujian tertutup)  pada tahun 2011. Alhamdulillah saya dinyatakan lulus dan diberikan waktu untuk mempersiapkan ujian promosi doktor. Pada tahun itu pula saya mengikuti ujian promosi doktor dan Alhamdulillah kembali dinyatakan lulus dalam waktu kurang 1 bulan 3 tahun, sesuai dengan jatah beasiswa selama 3 tahun.


Bersama teman-teman sesaat selesai ujian naskah disertasi (ujian tertutup) S3 Unpad

 Sesaat setelah Ujian Naskah Disertasi (ujian tertutup) bersama teman-teman mhs S3


Saat ujian promosi doktor Unpad 2011



Saat ujian promosi doktor di Unpad tahun 2011 beserta istri dan anak-anakku




Saat Wisuda Doktor Unpad bersama istri tercinta



 bersama Dr. Sukarman Kamuli dari Universitas Negeri Gorontalo

Setelah selesai wisuda, saya kembali ke kampus Universitas Bina Darma. Tidak lama kemudian saya dipanggil pak rektor dan ditawari untuk menduduki jabatan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi. Tawaran itupun saya terima dan jabatan dekan saya geluti selama lebih kurang 4 tahun, pada tahun 2016 sayapun diberikan amanah sebagai direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Bina Darma. Menjadi dosen dengan basis pendidikan doktor memang sangat berbeda dengan sebelumnya. Perubahan data pada pangkalan data di forlap.ristekdikti.go.id secara cepat membuat status menjadi eligible untuk mengikuti tes sertifikasi dosen (serdos) dan Alhamdulillah saya dinyatakan lulus serdos dan karena telah menenuhi persyaratan, saya juga ditetapkan sebagai asesor beban kerja dosen (BKD) bagi dosen yang akan mendapatkan tunjangan sertifikasi dosen. Saya merasa kaget saat dihubungi oleh staf Kopertis Wilayah II bahwa saya diangkat sebagai tim penilai jenjang jabatan akademik (JJA) untuk bidang ilmu sosial humaniora berdasarkan SK Koordinator Kopertis Wilayah II Prof. Dr. Diah Natalisa, MBA selama 2 tahun berturut-turut (2015-2016). Saya tidak menyangka dan tidak tahu apa pertimbangan koordinator Kopertis mengangkat saya sebagai anggota tim JJA yang sangat menentukan lolos tidaknya usul JJA dosen di lingkungan Kopertis Wilayah II (Sumsel, Lampung, Bengkulu dan Bangka Belitung). Seiring pergantian koordinator Kopertis, maka untuk tahun berikutnya saya tidak lagi menjadi tim penilai JJA. Banyak sekali manfaat yang saya peroleh selama menjadi anggota tim JJA ini, di samping pengetahuan tentang penilaian artikel ilmiah, juga banyak teman dan informasi berharga diseputar masalah karir sebagai dosen, saya juga mendapatkan insentif dari Kopertis...


Mendapatkan sertifikasi dosen

Pada tahun yang sama juga, proposal hibah penelitian fundamental yang diajukan untuk didanai oleh Ristekdikti juga dinyatakan lolos. Hingga sekarang, sudah sepuluh kali proposal riset saya didanai oleh Ristekdikti... Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam bentuk artikel pada jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional serta dalam bentul buku referensi. Jumlah artikel yang diterbitkan di jurnal dan prosiding diposting pada tautan di bawah ini...

https://scholar.google.co.id/citations?user=WvL3HacAAAAJ&hl=id&authuser=2

Ada 5 buku karya saya yang telah diterbitkan oleh penerbit Gava Media Yogyakarta. Buku-buku tersebut adalah sebagai berikut:

https://isbn.perpusnas.go.id/Account/SearchBuku?searchCat=Pengarang&searchTxt=hardiyansyah




















dan sayapun telah lulus menjadi reviewer penelitian berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Kemenristekdikti hingga bulan Agustus 2019.


Kembali menjadi dosen di STIE Serelo Lahat
STIE Serelo Lahat memiliki program pascasarjana dengan satu program studi Magister Manajemen yang didirikan pada tahun 2008. Mahasiswanya berasal dari Kabupaten Lahat, Muara Enim, Empat Lawang dan Kota Pagar Alam, karena program studi Magister Manajemen (MM) baru ada di STIE Serelo Lahat dengan akreditasi B. Mahasiswanya dominan dari pegawai negeri sipil, Polri dan BUMN/BUMN, perbankan di empat daerah tersebut. Singkat cerita, setelah terjadi perombakan kepengurusan Yayasan Pendidikan Serelo Lahat (YPS), pihak YPS juga berencana merombak Program Pascasarjana (PPs). Entah apa pertimbangan YPS, mereka menawarkan kepada saya untuk menjadi Direktur PPs STIE Serelo Lahat. Setelah terjadi beberapa kali komunikasi via WA dan juga menelpon secara langsung melalui wakil ketua YPS kanda Drs. H. Ibrahim Akib, M.M. dan Darwin  Kesuma, S.E., M.M., maka tawaran itu saya setujui dengan beberapa perjanjian kerja. Agar tugas saya dapat dijalankan secara optimal, maka saya mengajukan izin kepada rektor Universitas Bina Darma untuk pindah homebase ke STIE Serelo Lahat, semula agak berat Rektor melepaskan saya, tetapi atas dukungan kawan-kawan, seperti mas Dr Muji Gunarto (Dekan FEB UBD), Prof Isnawijayani (Dekan Filkom), Dr Hasmawaty (Direktur PPs UBD), Dr Izman (Warek Bidang Akademik), maka saya dizinkan pindah homebase. Setelah ini, maka sepenuhnya energi dan pikiran saya curahkan untuk kemajuan PPs STIE Serelo Lahat, apalagi akreditasi prodi akan segera berakhir, sesuai perjanjian bahwa tugas saya di antaranya adalah meningkatkan status akreditasi MM atau tetap pada kondisi semula, yaitu B. Jadi, awal bertugas sudah dihadapkan pada situasi yang sulit ini. Dalam hati saya, mana mungkin akreditasi bisa bertahan B bila dosen hanya 1 orang doktor yang ada di Pddikti. Maka setelah berdikusi dengan pihak YPS, langkah pertama saya mencari dosen dengan kualifikasi doktor. Waktu terus berjalan, masa akreditasi sebentar lagi habis, dan Alhamdulillah setelah mencari ke berbagai kampus dan minta info dengan kawan-kawan akhirnya jumlah dosen untuk perpanjangan akreditasi terpenuhi. Lalu kami membentuk tim penyusunan borang untuk perpanjangan akreditasi dan setelah menunggu beberapa bulan dengan segala dinamikanya, Alhamdulillah akreditasi prodi magister manajemen kembali B.



              dilantik sebagai direktur Program Pascasarjana STIE Serelo Lahat


Setelah 16 tahun setengah saya meninggalkan kota Lahat, maka pada medio tahun 2019 saya bertugas kembali ke Lahat, bukan di Pemda tapi di STIE Serelo Lahat. Saat saya bertugas di Pascasarjana STIE Serelo Lahat, hanya 1 orang yang berpendidikan doktor sebagai dosen tetap, yang lainnya sebagai dosen luar biasa. Alhamdulillah kini jumlah dosen tetap program studi MM STIE Serelo Lahat yang berpendidikan doktor sebanyak 7 orang dan sudah mencukupi persyaratan minimal untuk akreditasi ulang. Belum lama menjabat sebagai direktur, langsung melakukan wisuda program Pascasarjana sebanyak 63 orang



Wisuda Program Pascasarjana (dihadiri oleh Bupati Lahat, Wakil dari LLdikti, Pembina YPS)


Pada tanggal 7 Juni 2022, berdasarkan hasil aklamasi anggota Senat STIE Serelo Lahat, saya disetujui sebagai Ketua STIE Serelo Lahat periode 2022-2026


Pelantikan sebagai Ketua STIE Serelo Lahat periode 2022-2026

Pelantikan dihadiri oleh Pembina Yayasan (Drs. H. Solichin Daud dan istri), Wakil Bupati Lahat (H. Haryanto, S.E., M.M. dan istri), Ketua PKK Kab. Lahat/Istri Bupati Lahat  (Lidyawati, S.Hut., M.M.) Ketua DPRD Kab. Empat Lawang (Persi, S.E.), Pejabat Kementerian Pendidikan (Dr. H. Syahril Chaniago, M.Pd.), Bendahara Yayasan (Nidyawati, S.Pd., M.M.) dan Syukri, S.E., M.Si. (Ketua STIE Serelo Lahat periode 2018-2022). 

Pada awal tahun 2019, saya pernah melihat info bahwa suami adik sepupu saya Eny Lunarni, Prof. Dr. Ir. Alnopri menjadi rektor Universitas Pat Petulai (UPP). UPP merupakan perubahan bentuk dari Sekolah Tinggi Pertanian Rejang Lebong. Akhirnya Prof Alnopri saya hubungi dan saya bertanya perihal perubahan bentuk tersebut. Info yang disampaikan itu menjadi bahan saya ngomong dengan pihak YPS. Saya sampaikan bahwa sudah seharusnya STIE Serelo Lahat menjadi universitas, bahkan sebelumnya sudah juga disampaikan oleh Prof Bochari Rachman bahwa STIE Serelo Lahat sudah waktunya menjadi institut. Saya sampaikan bahwa ada Stiper Rejang Lebong yang berubah bentuk menjadi universitas dan rektornya itu Prof Alnopri jeme kite Lahat guru besar Faperta UNIB. Agar lebih jelas, akhirnya kami mengundang Prof Alnopri untuk menjadi narasumber dan berbagi pengalaman tentang langkah-langkah Stiper berubah bentuk menjadi universitas. Selasai mendengarkan penjelasan dihadapan para dosen dan pengurus YPS, maka YPS sepakat untuk mengusulkan perubahan bentuk STIE Serelo Lahat menjadi Universitas Serelo Lahat dengan membantuk Tim Perubahan Bentuk yang diketuai oleh Dr Hardiyansyah dengan anggota Dr. Nisma Aprini, M.Si., Rosananda Oktala, S.E., M.Si., Delvina Yulanda, S.E., M.Si., Ir. Hj. Indra Hartini, M.Si., Heri Fitriadi, S.Pd., M.M.,  Ivan Batara, S.Kom., M.M., dan Elwan, S.E., M.M.



Tim perubahan bentuk STIE Serelo Lahat menjadi Universitas Serelo Lahat


Pemenang logo Universitas Serelo Lahat, mendapat apresisasi dari Yayasan Pendidikan Serelo Lahat

Tim mulai bekerja dengan mengumpulkan dokumen dan mendaftar secara online melalui aplikasi Silemkerma... melakukan studi kelayakan tentang prodi apa yang diminati oleh calon mahasiswa. Syarat untuk menjadi universitas minimal harus memiliki 5 prodi. STIE Serelo Lahat telah memiliki 2 prodi, manajemen S1 dan manajemen S2, ternyata manajemen S2 tidak dihitung sebagai syarat perubahan bentuk. Artinya, kalau mau menjadi universitas harus menambah minimal 4 prodi baru. Akhirnya disepakati bahwa 4 prodi baru tersebut adalah: Sistem Informasi, Teknik Informatika, Sosial Ekonomi Pertanian dan Bisnis Digital. Pengurus yayasan sangat berkeinginan untuk membuka prodi bidang pendidikan dan prodi hukum, tapi sangat disayangkan kedua prodi itu dalam status moratorium. Singkat cerita, kami kumpulkan dokumen, kurikulum, dan yang paling memakan waktu adalah mencari calon dosen tetap. Minimal satu prodi 5 dosen tetap. Artinya kita butuh 20 dosen baru. Guna merekrut dosen baru, kami melakukan pengumuman di media sosial, facebook, instagram, tiktok atau grup-grup WA. Setelah semua d
okumen usul perubahan bentuk telah selesai disusun, maka langkah berikutnya adalah upload dokumen ke aplikasi silemkerma... Setelah semua dokumen discan, lalu diupload ke aplikasi https://silemkerma.kemdikbud.go.id/ namun sangat disayangkan, dunia kena musibah, merebaknya virus COVID-19 dan dilakukan pembatasan kontak langsung, semua aktivitas dilakukan secara daring yang sangat terbatas. Beberapa waktu kemudian, setelah dilakukan reviu oleh Tim dari Dikti, usul perubahan bentuk belum memenuhi syarat.  Teman-teman tim tidak putus asa dan masih semangat untuk kembali menyusun dokumen perubahan bentuk. Tidak lama kemudian terjadi perubahan aplikasi baru. Semula dokumen diupload melalui https://silemkerma.kemdikbud.go.id/ harus diganti melalui aplikasi baru siaga.kemdikbud.go.id... melalui aplikasi baru inipun masih banyak menghadapi kendala, akhirnya Dikti menjadwalkan untuk dilakukan Bimtek di Bogor. Kamipun ikut bimtek ke Bogor, dari tim yaitu Hardiyansyah dan Heri Fitriadi, dari YPS pak Zulkifli Idrus (alm) dan pak Darwin Kesuma. Setelah mendapat pencerahan melalui bimtek, dokumen kami perbaiki lagi. Alhamdulillah setelah kami monitor di aplikasi siaga, semula ada 2 prodi yang disetujui, lalu bertambah lagi menjadi 3 prodi yang disetujui dan setelah bolak balik ke Dikti dan perbaikan dokumen, keempat prodi pun akhirnya disetujui oleh Dikti... Tidak lama kemudian dijawalkan untuk visitasi ke kampus... hasil visitasi pun ada 2 aspek yang diperbaiki, aspek keuangan dan aspek hukum, setelah perbaikan maka waktu yang ditunggu-tunggupun tiba, terbitlah Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor: 487/E/O/2023 tanggal 6 Juni 2023 tentang Izin Perubahan Bentuk Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Serelo Lahat di Kabupaten Lahat menjadi Universitas Serelo Lahat di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Serelo Lahat. 











Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MELALUI PELAYANAN ONE STOP SERVICE (ANTARA IDEA DAN REALITA)

CV_Hardiyansyah