Benarkah Imunisasi Lumpuhkan Generasi?
Benarkah
Imunisasi Lumpuhkan Generasi?
6
Juni 2012
Pendahuluan
dakwatuna.com
- Akhir-akhir ini kita sering mendengar atau melihat seminar dengan judul yang
membuat mata seorang dokter terbelalak. “Imunisasi lumpuhkan generasi” atau “Wahai
para orangtua bekali dirimu dengan pengetahuan tentang bahaya imunisasi”.
Sebagai seorang dokter saya lalu merenung, bila benar apa yang mereka serukan
itu, betapa besar dosa saya sebagai dokter anak yang sering mengimunisasi bayi
dan anak yang datang ke tempat praktek. Betapa jahatnya saya sebagai manusia
karena telah mengimunisasi begitu banyak bayi dan anak selama ini, bahkan sejak
saya masih sebagai dokter umum di puskesmas dahulu. Lalu saya merenung dan
mencoba meneliti kembali permasalahan ini. Siapa sebenarnya yang salah dan
siapa yang benar? Dalam kontroversi yang memuat perbedaan 180 derajat ini,
tidak mungkin kedua-duanya salah atau benar. Pasti salah satu benar dan yang
lain salah. Dan saya khawatir bila selama ini sayalah yang bersalah itu. Saya
sungguh khawatir jangan-jangan saya telah melumpuhkan begitu banyak generasi
muda. Jangan-jangan saya telah melakukan dosa kemanusiaan yang sangat besar.
Galau habis-habisan.
Rasa
galau itu membuat saya membuka-buka literatur dan data yang ada tentang
permasalahan imunisasi. Saya mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan
seruan yang menentang keras imunisasi. Suatu pernyataan yang sangat bertolak
belakang dengan yang selama ini saya pelajari bahwa imunisasi itu suatu
tindakan preventif yang amat bermanfaat buat kemanusiaan. Di lain pihak
kegalauan saya juga semakin menjadi bila mengingat andai seruan tersebut
kemudian menyebar ke masyarakat luas lalu apa yang akan terjadi dengan
bayi-bayi mungil tak berdosa itu di kemudian hari? Mungkinkah penyakit-penyakit
berat yang dapat dicegah dengan imunisasi akan bangkit kembali dari kuburnya
gara-gara seruan itu? Masalah ini justru menimbulkan kegalauan lebih dalam bagi
saya.
Apakah
Sebenarnya Imunisasi Itu?
Sebelum
melangkah lebih jauh mari kita bahas sekilas apakah yang dimaksud dengan
imunisasi. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia
tidak menjadi sakit. Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi dapat berupa
kekebalan pasif maupun aktif. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh
kekebalan pasif disebut imunisasi pasif, dengan cara memberikan antibodi atau
faktor kekebalan kepada seseorang yang membutuhkan. Contohnya adalah pemberian
imunoglobulin spesifik untuk penyakit tertentu, misalnya imunoglobulin
antitetanus untuk penyakit tetanus. Contoh lain adalah kekebalan pasif alamiah
antibodi yang diperoleh janin dari ibu. Kekebalan jenis ini tidak berlangsung
lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.
Kekebalan
aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen secara alamiah
atau melalui imunisasi. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan
aktif disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif yang disebut
vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi. Kekebalan yang diperoleh dari
vaksinasi berlangsung lebih lama dari kekebalan pasif karena adanya memori
imunologis, walaupun tidak sebaik kekebalan aktif yang terjadi karena infeksi
alamiah. Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori imunologis yang efektif
maka vaksinasi harus mengikuti cara pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan
melalui bukti uji klinis yang telah dilakukan.
Tujuan
imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan
menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat (populasi), atau
bahkan menghilangkannya dari dunia seperti kita lihat pada keberhasilan
imunisasi cacar variola. Keadaan terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis
penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit difteri
dan poliomielitis. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
merupakan penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan
seumur hidup dan akan menjadi beban bagi masyarakat di kemudian hari. Sampai
saat ini terdapat 19 jenis vaksin untuk melindungi 23 PD3I di seluruh dunia dan
masih banyak lagi vaksin yang sedang dalam penelitian.
Adakah
Bukti Bahwa Imunisasi Bermanfaat?
Pertanyaan
selanjutnya yang perlu dijawab adalah adakah manfaat imunisasi? Ataukah
imunisasi hanya bikin mudharat (keburukan) buat kemanusiaan? Untuk menjawab
pertanyaan ini saya kemudian menelaah berbagai data status kesehatan masyarakat
sebelum dan sesudah ditemukannya imunisasi di berbagai negara. Namun saya ingin
menampilkan data dari negara maju seperti Amerika Serikat, karena kelompok
antiimunisasi selalu menuduh bahwa imunisasi adalah sebuah proyek konspirasi
dari negara ini untuk melumpuhkan generasi muda di seluruh dunia.
Sebelum
adanya vaksin polio, terdapat 13.000 – 20.000 (16.316) kasus lumpuh layuh akut
akibat polio dilaporkan setiap tahun di AS meninggalkan ribuan korban penderita
cacat karena polio yang mesti menggunakan tongkat penyangga atau kursi roda.
Saat ini AS dinyatakan bebas kasus polio. Angka penurunan mencapai 100%.
Sebelum
adanya imunisasi campak, 503.282 kasus campak terjadi setiap tahun dan 20% di
antaranya dirawat dengan jumlah kematian mencapai 450 orang per tahun akibat
pneumonia campak. Setelah ada imunisasi campak kasus menurun hingga 55 kasus
per tahun pada tahun 2006. Angka penurunan 99.9%.
Sebelum
ditemukan imunisasi difteri terjadi 175.885 kasus difteri per tahun dengan
angka kematian mencapai 15.520 kasus. Setelah imunisasi ditemukan tahun 2001
jumlahnya menurun menjadi 2 kasus dan tahun 2006 tidak ada lagi laporan kasus
difteri. Angka penurunan mencapai 100%
Sebelum
tahun 1940an terdapat 150.000-260.000 kasus pertussis setiap tahun dengan angka
kematian mencapai 9000 kasus setahun. Setelah imunisasi pertussis ditemukan
angka kematian menurun menjadi 30 kasus setahun. Namun dengan seruan
antiimunisasi yang marak di AS terjadi lagi peningkatan kasus secara signifikan
di beberapa negara bagian. Pada 8 negara bagian terjadi peningkatan kasus
10-100 kali lipat pada saat cakupan imunisasi pertussis menurun drastis.
Sebelum
vaksin HiB ditemukan, HiB merupakan penyebab tersering meningitis bakteri
(radang selaput otak) di AS, dengan 20.000 kasus per tahun. Meningitis HiB
menyebabkan kematian 600 anak per tahun dan meninggalkan kecacatan berupa tuli,
kejang, dan retardasi mental pada anak yang selamat. Pada tahun 2006 kasus
meningitis HIB menurun menjadi 29 kasus. Angka penurunan 99.9%.
Hampir
90% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi Rubella saat hamil trimester
pertama akan mengalami sindrom Rubella kongenital, berupa penyakit jantung
bawaan, katarak kongenital, dan ketulian. Pada tahun 1964 sekitar 20.000 bayi
lahir dengan sindrom Rubella kongenital ini, mengakibatkan 2100 kematian
neonatal dan 11.250 abortus. Setelah adanya imunisasi hanya dilaporkan 6 kasus
sindrom Rubella kongenital pada tahun 2000. Kasus Rubella secara umum menurun
dari 47.745 kasus menjadi hanya 11 kasus per tahun pada tahun 2006. Angka
penurunan 99.9%.
Hampir
2 milyar orang telah terinfeksi hepatitis B suatu saat dalam hidupnya. Sejuta
di antaranya meninggal setiap tahun karena penyakit sirosis hati dan kanker
hati. Sekitar 25% anak-anak yang terinfeksi hepatitis B dapat diperkirakan akan
meninggal karena penyakit hati pada saat dewasa. Terjadi penurunan jumlah kasus
baru dari 450.000 kasus pada tahun 1980 menjadi sekitar 80.000 kasus pada tahun
1999. Penurunan terbanyak terjadi pada anak dan remaja yang mendapat imunisasi
rutin.
Di
seluruh dunia penyakit tetanus menyebabkan kematian pada 300.000 neonatus dan
30.000 ibu melahirkan setiap tahunnya dan mereka tidak diimunisasi adekuat.
Tetanus sangat infeksius namun tidak menular, sehingga tidak seperti PD3I yang
lain, imunisasi pada anggota suatu komunitas tidak dapat melindungi orang lain
yang tidak diimunisasi. Karena bakteri tetanus terdapat banyak di lingkungan
kita, maka tetanus hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Bila program imunisasi
tetanus distop, maka semua orang dari berbagai usia akan rentan menderita
penyakit ini.
Sekitar
212.000 kasus mumps (gondongan) terjadi di AS pada tahun 1964. Setelah
ditemukannya vaksin mumps pada tahun 1967 insidens penyakit ini menurun menjadi
hanya 266 kasus pada tahun 2001. Namun pada tahun 2006 terjadi KLB di kalangan
mahasiswa, sebagian besar di antara mereka menerima 2 kali vaksinasi. Terjadi
lebih dari 5500 kasus pada 15 negara bagian. Mumps merupakan penyakit yang
sangat menular dan hanya butuh beberapa orang saja yang tidak diimunisasi untuk
memulai transmisi penyakit sebelum menyebar luas.
Sebelum
vaksin pneumokokus ditemukan, pneumokokus menyebabkan 63.000 kasus invassive
pneumococcal disease (IPD) dengan 6100 kematian di AS setiap tahun. Banyak anak
yang menderita gejala sisa berupa ketulian dan kejang-kejang.
Dari
data di atas para ahli menyimpulkan bahwa imunisasi adalah salah satu di antara
program kesehatan masyarakat yang paling sukses dan cost-effective. Program
imunisasi telah menyebabkan eradikasi penyakit cacar (variola, smallpox),
eliminasi campak dan poliomielitis di berbagai belahan dunia. Dan penurunan
signifikan pada morbiditas dan mortalitas akibat penyakit difteri, tetanus, dan
pertussis. Badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan 2 juta
kematian anak dapat dicegah dengan imunisasi. Katz (1999) bahkan menyatakan
bahwa imunisasi adalah sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah
diberikan para ilmuwan di dunia ini.
Kesalahpahaman
Tentang Imunisasi
Meskipun
imunisasi telah terbukti banyak manfaatnya dalam mencegah wabah dan PD3I di
berbagai belahan dunia, namun masih terdapat sebagian orang yang memiliki
miskonsepsi terhadap imunisasi. Secara umum berikut ini adalah beberapa
miskonsepsi yang sering terjadi di masyarakat:
Kesalahpahaman
1: Penyakit-penyakit tersebut (PD3I) sebenarnya sudah mulai menghilang sebelum
vaksin ditemukan karena meningkatnya higiene dan sanitasi.
Pernyataan
sejenis ini dan variasinya sangat banyak dijumpai pada literatur antivaksin.
Namun bila melihat insidens aktual PD3I sebelum dan sesudah ditemukannya vaksin
kita tidak lagi meragukan manfaat vaksinasi. Sebagai contoh kita lihat kasus
meningitis HiB di Canada. Higiene dan sanitasi sudah dalam keadaan baik sejak
tahun 1990, namun kejadian meningitis HiB sebelum program imunisasi
dilaksanakan mencapai 2000 kasus per tahun dan setelah imunisasi rutin
dijalankan menurun menjadi 52 kasus saja dan mayoritas terjadi pada bayi dan
anak yang tidak diimunisasi.
Contoh
lain adalah pada 3 negara maju (Inggris, Swedia, dan Jepang) yang menghentikan
program imunisasi pertussis karena ketakutan terhadap efek samping vaksin
pertussis. Di Inggris tahun 1974 cakupan imunisasi menurun drastis dan diikuti
dengan terjadinya wabah pertussis pada tahun 1978, ada 100.000 kasus pertussis
dengan 36 kematian. Di Jepang pada kurun waktu yang sama cakupan imunisasi
pertussis menurun dari 70% menjadi 20-40% hal ini menyebabkan lonjakan kasus
pertussis dari 393 kasus dengan 0 kematian menjadi 13.000 kasus dengan 41
kematian karena pertussis pada tahun 1979. Di Swedia pun sama, dari 700 kasus
pada tahun 1981 meningkat menjadi 3200 kasus pada tahun 1985. Pengalaman
tersebut jelas membuktikan bahwa tanpa imunisasi bukan saja penyakit tidak akan
menghilang namun juga akan hadir kembali saat program imunisasi dihentikan.
Kesalahpahaman
2: Mayoritas anak yang terkena penyakit justru yang sudah diimunisasi.
Pernyataan
ini juga sering dijumpai pada literatur antivaksin. Memang dalam suatu kejadian
luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi lebih banyak
daripada anak yang sakit dan belum diimunisasi.
Penjelasan
masalah tersebut sebagai berikut: pertama tidak ada vaksin yang 100% efektif.
Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar 85-95%, tergantung
respons individu.
Kedua:
proporsi anak yang diimunisasi lebih banyak daripada anak yang tidak
diimunisasi di negara yang menjalankan program imunisasi. Bagaimana kedua
faktor tersebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh berikut. Suatu sekolah
mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi campak 2 kali kecuali 25
yang tidak pernah sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 25 murid
yang belum diimunisasi semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah
diimunisasi campak 2 kali, sakit 50 orang. Jumlah seluruh yang sakit 75 orang
dan yang tidak sakit 925 orang. Kelompok antiimunisasi akan mengatakan bahwa persentase
murid yang sakit adalah 67 % (50/75) dari kelompok yang pernah imunisasi, dan
33% (25/75) dari kelompok yang tidak diimunisasi. Padahal bila dihitung dari
efek proteksi, maka imunisasi memberikan efek proteksi sebesar (975-25)/975 =
94.8%. Yang tidak diimunisasi efek proteksi sebesar 0/25= 0%. Dengan kata lain,
100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit campak; dibanding hanya
5,2% dari kelompok yang diimunisasi yang terkena campak. Jelas bahwa imunisasi
berguna untuk melindungi anak.
Kesalahpahaman
3: Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan, dan bahkan
kematian.
Vaksin
merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek simpang vaksin bersifat
ringan dan sementara, seperti nyeri pada bekas suntikan atau demam ringan. Kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) secara definitif mencakup semua kejadian sakit
pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI hampir
sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan sehari-hari tanpa adanya
program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang memang berkaitan dengan vaksin
atau imunisasinya, sebagian besar bersifat koinsidens. Kematian yang disebabkan
oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang dilaporkan di
Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990-1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan
dengan vaksin. Institut of Medicine (IOM) tahun 1994 menyatakan bahwa resiko
kematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-ordinarily low).
Besarnya
resiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek
simpang berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat vaksin,
maka vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila
resiko penyakit dibandingkan dengan resiko vaksin.
Contoh
vaksin MMR (melindungi campak, mumps (gondongan) dan rubella (campak jerman)
Pneumonia
campak: resiko kematian 1:3000, resiko vaksin MMR alergi berat 1:1000.000
Ensefalitis
mumps: 1 : 300 pasien mumps. Resiko vaksin MMR ensefalitis 1:1000.000
Sindrom
rubella kongenital : 1 : 4 bayi dari ibu hamil kena rubella
Contoh
vaksin DPaT (melindungi difteri, pertussis, dan tetanus)
Difteri:
Resiko kematian 1 : 20. Resiko vaksin DPaT menangis lama sementara 1 : 100
Tetanus:
Resiko kematian 1 : 30. Resiko vaksin DPaT kejang sembuh sempurna 1 : 1750
Pertussis:
Resiko ensefalitis pertussis 1 : 20. Resiko vaksin DPaT ensefalitis 1 :
1000.000
Kesalahpahaman
4: Penyakit penyakit tersebut (PD3I) telah tidak ada di negara kita sehingga
anak tidak perlu diimunisasi
Angka
kejadian beberapa penyakit yang termasuk PD3I memang telah menurun drastis.
Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara lain. Siapa pun
termasuk wisatawan dapat membawa penyakit tersebut secara tidak sengaja dan
dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada
tahun 2005 lalu. Sejak tahun 1995 tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh
virus polio liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Bioofarma di Bandung
mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang
menderita lumpuh layuh akut pada bulan Maret 2005. Anak tersebut tidak pernah
diimunisasi sebelumnya. Virus polio itu selanjutnya menyebabkan wabah merebak
ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006 tercatat 349 kasus polio,
termasuk 46 kasus VDVP (vaccine derived polio virus) di Madura. Dari analisis
genetik virus diketahui bahwa virus berasal dari Afrika barat.
Analisis
lebih lanjut menunjukkan bahwa virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria dan
Sudan sama seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman. Dari
pengalaman tersebut terbukti bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena
dua alasan. Alasan pertama adalah anak harus dilindungi. Meskipun resiko
terkena penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak
terproteksi tetap berpeluang terinfeksi. Alasan kedua imunisasi anak penting
untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tak dapat
diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin) dan
sebagian kecil anak yang tidak memberi respons terhadap imunisasi. Anak-anak
tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan adalah dari
orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit
kepadanya.
Kesalahpahaman
5: Pemberian vaksin kombinasi (multipel) meningkatkan resiko efek simpang yang
berbahaya dan dapat membebani sistem imun
Anak-anak
terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat membawa bakteri yang
baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri hidup
di mulut dan hidung. Infeksi saluran pernapasan bagian atas akan menambah
paparan 4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan memberi
paparan 25-50 antigen. Tahun 1994 IOM menyatakan bahwa dalam keadaan normal
penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin akan memberikan beban
tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitian
menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel tidak membebani
sistem imun anak normal. Pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP), American Academy of Pediatrics (AAP), dan American Academy of
Family Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin kombinasi untuk
imunisasi anak. Keuntungan vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah suntikan,
mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi jumlah kunjungan
ke dokter, dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi.
Kesalahpahaman:
Vaksin MMR menyebabkan autisme
Beberapa
orangtua anak dengan autisme percaya bahwa terdapat hubungan sebab akibat
antara vaksin MMR dengan autisme. Gejala khas autisme biasanya diamati oleh
orangtua saat anak mulai tampak gejala keterlambatan bicara setelah usia lewat
satu tahun. Vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan (di luar negeri 12 bulan).
Pada usia sekitar inilah biasanya gejala autisme menjadi lebih nyata. Meski pun
ada juga kejadian autisme mengikuti imunisasi MMR pada beberapa kasus. Akan
tetapi penjelasan yang paling logis dari kasus ini adalah koinsidens. Kejadian
yang bersamaan waktu terjadinya namun tidak terdapat hubungan sebab akibat.
Kejadian
autisme meningkat sejak 1979 yang disebabkan karena meningkatnya kepedulian dan
kemampuan kita mendiagnosis penyakit ini, namun tidak ada lonjakan secara tidak
proporsional sejak dikenalkannya vaksin MMR pada tahun 1988. Pada tahun 2000
AAP membuat pernyataan : “Meski kemungkinan hubungan antara vaksin MMR dengan
autisme mendapat perhatian luas dari masyarakat dan secara politis, serta
banyak yang meyakini adanya hubungan tersebut berdasarkan pengalaman
pribadinya, namun bukti-bukti ilmiah yang ada tidak menyokong hipotesis bahwa
vaksin MMR menyebabkan autisme dan kelainan yang berhubungan dengannya.
Pemberian
vaksin measles, mumps, dan rubella secara terpisah pada anak terbukti tidak
lebih baik daripada pemberian gabungan menjadi vaksin MMR, bahkan akan
menyebabkan keterlambatan atau luput tidak terimunisasi. Dokter anak mesti
bekerja sama dengan para orangtua untuk memastikan bahwa anak mereka
terlindungi saat usianya mencapai 2 tahun dari PD3I. Upaya ilmiah mesti terus
dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti dari autisme. Lembaga lain yaitu CDC
dan NIH juga membuat pernyataan yang mendukung AAP. Pada tahun 2004 IOM
menganalisis semua penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara vaksin MMR
dengan autisme. Hasilnya adalah tidak satu pun penelitian itu yang tidak cacat
secara metodologis. Kesimpulan IOM saat itu adalah tidak terbukti ada hubungan
antara vaksin MMR dengan autisme.
Penutup
Setelah
mengkaji berbagai literatur sebagaimana disebutkan di atas, maka secara
berangsur kegalauan saya menghilang. Saya semakin yakin akan kebenaran teori
ilmiah berbasis bukti yang sudah ditemukan para ahli. Bahkan beberapa waktu
lalu ada sejawat saya Dr Julian Sunan, seorang dokter yang masih muda dan amat ganteng
(menurut pengakuannya sendiri) telah menelaah bahwa ternyata tokoh-tokoh
antivaksin yang sering dikutip kelompok antivaksin di Indonesia ternyata banyak
yang fiktif. Mereka melakukan pemelintiran data dan pemutarbalikan fakta. Tak
heran kalau yang sangat aman dianggap sangat berbahaya dan penyakit sangat
berbahaya nan mematikan dianggap tidak apa apa dan mungkin malah diajak
bersahabat karib oleh kelompok antiimunisasi.
Terima
kasih.
—
Bahan
bacaan
Ranuh
IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko.
Buku Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi ke-4. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta 2011.
Center
for Disease Control http://www.cdc.gov
Gangarosa
EJ, et al. Impact of anti-vaccine movements on pertussis control: the untold
story. Lancet 1998;351:356-61.
Am.
Acad. Ped. When Parents Refuse to Immunize Their Children. PEDIATRICS Vol. 115
No. 5 May 2005, pp. 1428-1431 (doi:10.1542/peds.2005-0316)
Diekema
DS and the Committee on Bioethics. Responding to Parental Refusals of
Immunization of Children. Pediatrics 2005;115:1428–1431
World
Health Oranization:
http://www.who.int/immunization_safety/aefi/immunization_misconceptions
http://www.quackwatch.com
Halsey
NA and others. Measles-mumps-rubella vaccine and autistic spectrum disorder:
Report from the New Challenges in Childhood Immunizations Conference Convened
in Oak Brook, Illinois, June 12-13, 2000. Pediatrics 107(5):E84, 2001.
National
Network for Immunization Information http://www.immunizationinfo.org/
The
Red Book http://aapredbook.aappublications.org/
http://juliansunan.blogspot.com/
Bahaya imunisasi, telaah tahap 1 dan tahap 2
Tentang
Dr. Piprim B Yanuarso Sp. A(K)
Selengkapnya.
Sumber:
http://m.dakwatuna.com/2012/06/20922/benarkah-imunisasi-lumpuhkan-generasi/#ixzz2Q2HyBSQ1
Komentar
Posting Komentar