Kuliah Manajemen Pelayanan



Konsep Pelayanan Publik

A.   Pengertian Pelayanan Publik

Teori ilmu administrasi negara mengajarkan bahwa pemerintahan negara pada hakikatnya menyelenggarakan dua jenis fungsi utama, yaitu fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan. Fungsi pengaturan biasanya dikaitkan dengan hakikat negara modern sebagai suatu negara hukum (legal state), sedangkan fungsi pelayanan dikaitkan dengan hakikat negara sebagai suatu negara kesejahteraan (welfare state). Baik fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan menyangkut semua segi kehidupan dan penghidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan pelaksanaanya dipercayakan kepada aparatur pemerintah tertentu yang secara fungsional bertanggungjawab atas bidang-bidang tertentu kedua fungsi tersebut (Siagian, 2001)
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pelayanan memiliki tiga makna, (1) perihal atau cara melayani; (2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang); (3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa.[1] Pengertian pelayanan (service) menurut American Marketing Association, seperti dikutip oleh Donald (1984) bahwa pelayanan pada dasarnya adalah merupakan kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain  dan  pada hakekatnya tidak berwujud serta tidak menghasilkan kepememilikan sesuatu, proses produksinya mungkin juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik. Sedangkan menurut Lovelock (1991), service adalah produk yang tidak berwujud, berlangsung sebentar dan dirasakan atau dialami. Artinya service merupakan produk yang tidak ada wujud atau bentuknya sehingga tidak ada bentuk yang dapat dimiliki, dan berlangsung sesaat atau tidak tahan lama, tetapi dialami dan dapat dirasakan oleh penerima layanan. Secara etimologis, pelayanan berasal dari kata layan yang berarti membantu menyiapkan/mengurus apa-apa yang diperlukan seseorang, kemudian pelayanan dapat diartikan sebagai: Perihal/cara melayani; Servis/jasa;  Sehubungan dengan jual beli barang atau jasa (Poerwadarminta, 1995). Dari uraian tersebut,  maka pelayanan dapat diartikan sebagai aktivitas yang diberikan untuk membantu, menyiapkan dan mengurus baik itu berupa barang atau jasa dari satu pihak kepada pihak lain.
Istilah lain yang sejenis dengan pelayanan itu adalah pengabdian dan pengayoman. Dari seorang administrator diharapkan akan tercermin sifat-sifat memberikan pelayanan publik, pengabdian kepada kepentingan umum dan memberikan pengayoman kepada masyarakat lemah dan kecil. Administrator lebih menekankan pada mendahulukan kepentingan masyarakat/umum dan memberikan service kepada masyarakat ketimbang kepentingan sendiri (Thoha, 1991).
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003, definisi dari pelayanan umum adalah: Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka  pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Bab I Pasal 1 Ayat 1 UU No. 25/2009, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Mengikuti definisi di atas, pelayanan publik atau pelayaan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2007). Pelayanan umum atau pelayanan publik menurut Sadu Wasistiono (2001) adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat.
Menurut Departemen Dalam Negeri (Pengembangan Kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, 2004)[2] bahwa; “Pelayanan Publik  adalah Pelayanan Umum,” dan definisi “Pelayanan Umum adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa  barang dan  jasa.” Sementara menurut David McKevitt (1998), dalam bukunya yang berjudul Managing Core Public Services, membahas secara spesifik mengenai inti pelayanan publik  yang menjadi tugas pemerintah dan pemerintah daerah, yang menyatakan  bahwa “Core Public Services my be defined as those sevices which are important for the protection and promotion of citizen well-being, but are in areas where the market is incapable of reaching or even approaching a  socially optimal state;  heatlh, education, welfare and security provide  the most obvious best know example.” Sedangkan menurut UU Nomor 25/2009, Bab I, Pasal 1, ayat (1),  pengertian pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang telah diuraikan di atas, dalam konteks pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan. Sedangkan penyelenggara pelayanan publik menurut Bab I Pasal 1 ayat 2 UU No. 25/2009 adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Dari pengertian dan penjelasan tersebut, terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu: unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah/Pemerintah Daerah, unsur kedua, adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan).
Unsur pertama menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai regulator (pembuat aturan) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan  Pemda bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilih dan memilah antara kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan. Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak  memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra pelayanan dengan mewabahnya pungli, dan ironisnya dianggap saling menguntungkan. Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsur kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorienntasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan  kinerja manajemen pemerintahan daerah. 
Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah untuk dilakukannya perubahan  pola pikir aparatur pemerintah daerah, di dalam menyikapi perubahan dan/atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih berorientasi pelayanan. Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah  yang semula didasarkan pada  paradigma rule government  yang mengedepankan prosedur, berubah dan/atau bergeser menjadi paradigma good governance yang mengedepankan kebersamaan, transparansi, akuntabilitas, keadilan, kesetaraan dan kepastian hukum.
Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rule government) harus mengubah pola pikir dan kinerja penyelenggaranya, disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat,  mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas,  keadilan dan kepastian hukum.[3]
Menurut Saefullah (2008), untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik perlu ada upaya untuk memahami sikap dan perubahan kepentingan publik sendiri. Perubahan kehidupan dunia yang begitu cepat mempunyai pengaruh yang cepat pula terhadap perubahan sikap dan perilaku masyarakat secara umum.
Pada prinsipnya setiap pelayanan umum ini, senantiasa harus selalu ditingkatkan kualitasnya sesuai dengan keinginan klien atau masyarakat pengguna jasa. Akan tetapi kenyataannya untuk mengadakan perbaikan terhadap kualitas pelayanan publik bukanlah sesuatu yang mudah. Banyaknya jenis pelayanan umum di negeri ini dengan macam-macam persoalan dan penyebab yang sangat bervariasi antara satu dengan yang lainnya, sehingga perlu dicari suatu metode yang mampu menjawab persoalan tadi.
Menurut Ibrahim (2008), bahwa pemerintah/pemerintahan sudah seharusnya menganut paradigma customer driven (berorientasi kepentingan masyarakat) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, mempersiapkan seluruh perangkat untuk memenuhi paradigma tersebut secara sistemik (sejak masukan-proses-keluaran hasil/dampaknya),  sehingga terwujud pelayanan publik yang berkualitas (yang sedapat mungkin tangibel, reliabel, responsif, aman, dan penuh empati dalam pelaksanaannya). Untuk itu diperlukan “aturan main” yang tegas, lugas, dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan lingkungan, yang cirinya selalu berubah dengan cepat dan kadang penuh ketidakpastian. Di sinilah terletak “seni dan ilmu pelayanan” yang harus dikembangkan pemerintah bersama seluruh lapisan masyarakat (dalam bahasa administrasi publik, harus ada integrasi dalam hal melaksanakan pelayanan publik yang berkualitas) antara seluruh stakeholders pembangunan, yakni antara stakeholder internal (sektor publik=sektor pemerintahan) dan stakeholders eksternal  (sektor swasta dan sektor masyarakat luas lainnya).
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (2004) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun   dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan    perundang-undangan.
Dengan demikian, pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahnya.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dapat terwujud.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function).  Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh mana pemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. Selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip equity dalam menjalankan fungsi-fungsi tadi. Artinya pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara diskriminatif. Pelayanan diberikan tanpa memandang status, pangkat, golongan dari masyarakat dan semua warga masyarakat  mempunyai hak yang sama atas pelayanan-pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas, namun tidak berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi tadi. Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership), antara pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya. Pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan Osborne dan Gaebler (1992).
Namun dalam kaitannya dengan sifat barang privat dan barang publik murni, maka pemerintah adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban menyediakan barang publik murni, khususnya barang publik yang bernama rules atau aturan (kebijakan publik). Barang publik murni yang berupa aturan tersebut tidak pernah dan tidak boleh diserahkan penyediaannya kepada swasta. Karena bila hal itu dilakukan maka di dalam aturan tersebut akan melekat kepentingan-kepentingan swasta yang membuat aturan, sehingga aturan menjadi penuh dengan vested interest dan menjadi tidak adil (unfair rule). Karena itu peran pemerintah yang akan tetap melekat di sepanjang keberadaannya adalah sebagai penyedia barang publik murni yang bernama aturan.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (public services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya. Itulah sebabnya menurut Siagian (2001) aparatur pemerintah  menyelenggarakan “pelayanan umum”  (public service) dan para pegawai negeri dikenal dengan istilah “abdi masyarakat” (public servants). Bahkan sesungguhnya, fungsi pengaturan yang diselenggarakan oleh aparatur pemerintah merupakan bagian dari pelayanan umum juga. Hanya saja dalam memberikan pelayanan umum dalam rangka pengaturan, aparatur pemerintah memiliki fungsional tertentu yang tidak dimiliki komponen lain di masyarakat.  Misalnya, hanya polisi lalu lintas yang mempunyai wewenang “menilang” seseorang yang melanggar perturan lalu lintas, dan sebagainya.
Dipandang dari sudut ekonomi, pelayanan merupakan salah satu alat pemuas kebutuhan manusia sebagaimana halnya dengan barang. Namun pelayanan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari barang. Salah satu yang membedakannya dengan barang, sebagaimana dikemukakan oleh Gasperz (1994), adalah outputnya yang tidak berbentuk (intangible output), tidak standar, serta tidak dapat disimpan dalam inventori melainkan langsung dapat dikonsumsi pada saat produksi.
Karakteristik pelayanan sebagaimana yang dikemukakan Gasperz tadi secara jelas membedakan pelayanan dengan barang, meskipun sebenarnya keduanya merupakan alat pemuas kebutuhan. Sebagai suatu produk yang intangible,  pelayanan memiliki dimensi yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible. Produk akhir pelayanan tidak memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang  dimiliki oleh barang. Produk akhir pelayanan sangat tergantung dari proses interaksi yang terjadi antara layanan dengan konsumen.
Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (publik=umum).  Senada dengan itu, Moenir (2006) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Kegiatan pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah kepada masyarakat meliputi banyak hal yang menyangkut semua kebutuhan masyarakat. Menurut  Pamudji (1994) Jasa pelayanan pemerintah yaitu berbagai kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa-jasa. Jenis pelayanan publik dalam arti jasa-jasa, yaitu seperti pelayanan kesehatan, pelayanan keluarga, pelayanan pendidikan, pelayanan haji, pelayanan pencarian keadilan, dan lain-lain.

  

B.   Konsepsi Pelayanan Publik

Konsepsi pelayanan publik, berhubungan dengan bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dan/atau pemerintahan daerah menjalankan fungsi pelayanan, dalam konteks pendekatan ekonomi,  menyediakan kebutuhan pokok (dasar) bagi seluruh masyarakat. Kebutuhan pokok masyarakat akan terus berkembang seiring dengan tingkat perkembangan sosio-ekonomi masyarakat. Artinya, pada tingkat perkembangan tertentu, sesuatu jenis barang dan jasa yang sebelumnya dianggap sebagai barang mewah, dan terbatas kepemilikannya atau tidak menjadi kebutuhan pokok, dapat berubah menjadi barang pokok yang diperlukan bagi sebagian besar masyarakat.  Dengan demikian, perubahan dan perkembangan konsep kebutuhan pokok masyarakat, terkait erat dengan tingkat perkembangan sosial-ekonomi masyarakat yang dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, serta perubahan politik.[4]
Hasil pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat yang mendorong pertumbuhan tersebut, dan  harus didistribusikan dan dialokasikan secara adil dan merata kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Pengaturan distribusi dan alokasi tersebut, sesuai dengan fungsinya  dijalankan oleh birokrasi lembaga-lembaga pemerintahan dan /atau pemerintahan daerah,  sebagai wujud dari fungsi pelayanan berdasarkan kepentingan publik yang dilayani.
Penyediaan pelayanan dasar (core public services) dalam konteks pendekatan sosial, berhubungan dengan penyediaan  pelayanan dibidang pendidikan dan kesehatan. Secara ekonomis, penyediaan pelayanan dasar tersebut tidak memberikan keuntungan finansial atau PAD kepada Daerah, dan bahkan membutuhkan biaya dalam jumlah yang besar untuk menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Penyediaan pelayanan pendidikan dan kesehatan harus dilihat sebagai investasi jangka panjang yang harus disikapi secara bijak dengan pandangan dan pemikiran jauh kedepan, karena hasilnya baru akan dinikmati oleh masyarakat dan pemerintah/pemerintah daerah dimas mendatang. Kebijakan penyediaan pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan, pada hakekatnya menjadi tugas dan kewajiban  pemerintah dan pemerintah daerah, untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Secara teoritik, birokrasi pemerintahan memiliki tiga fungsi  utama, yaitu; fungsi pelayanan, fungsi pembangunan dan fungsi pemerintahan umum. Fungsi pelayanan, berhubungan dengan  unit organisasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan  masyarakat. Fungsi  utamanya,  memberikan pelayanan (service) langsung kepada masyarakat. Fungsi pembangunan, berhubungan dengan unit oganisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang tugas tertentu disektor pembangunan. Fungsi pokoknya adalah development function dan adaptive function.  Fungsi pemerintahan umum, berhubungan dengan rangkaian kegiatan organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum (regulasi), temasuk di dalamnya menciptakan dan memelihara ketentraman dan ketertiban. Fungsinya lebih dekat pada fungsi pengaturan (regulation function).[5]
Ketiga fungsi birokrasi pemerintahan tersebut, menunjukan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, cakupannya sangat luas yaitu pelayanan yang menghasilkan public good, seperti jalan, jembatan, pasar dan lain-lain, dan pelayanan yang menghasilkan peraturan perundang-undangan atau kebijakan (fungsi regulasi), yang harus dipatuhi oleh masyarakat seperti perizinan, KTP, SIM, IMB, dan lain-lain.     

C.  Klasifikasi Pelayanan Publik
Pelayanan publik yang harus diberikan oleh pemerintah dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama, yaitu: pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan umum. Mahmudi (2005: 205-210) menjelaskannya sebagai berikut:

1. Pelayanan Kebutuhan Dasar
Pelayanan kebutuhan dasar yang harus diberikan oleh pemerintah meliputi : kesehatan, pendidikan dasar, dan bahan kebutuhan pokok masyarakat.

a. Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat, maka kesehatan adalah hak bagi setiap warga masyarakat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu, perbaikan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu investasi sumber daya manusia untuk mencapai masyarakat yang sejahtera (welfare society).
Tingkat kesehatan masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, karena tingkat kesehatan memiliki keterkaitan yang erat dengan tingkat kemiskinan. Sementara, tingkat kemiskinan akan terkait dengan tingkat kesejahteraan. Keterkaitan tingkat kesehatan dengan kemiskinan dapat dilihat pada siklus lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty). Dalam suatu lingkaran setan kemiskinan tersebut, dapat tiga poros utama yang menyebabkan seseorang menjadi miskin, yaitu: 1) rendahnya tingkat kesehatan, 2) rendahnya pendapatan, dan 3) rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya tingkat kesehatan merupakan salah satu pemicu terjadinya kemiskinan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa tingkat kesehatan masyarakat yang rendah akan menyebabkan tingkat produktivitas rendah. Tingkat produktivitas yang rendah lebih menyebabkan pendapatan rendah. Pendapatan yang rendah menyebabkan terjadinya kemiskinan. Kemiskinan ini selanjutnya menyebabkan seseorang tidak dapat menjangkau pendidikan yang berkualitas serta membayar biaya pemeliharaan dan perawatan kesehatan. Oleh karena kesehatan merupakan faktor utama kesejahteraan masyarakat yang hendak diwujudkan pemerintah, maka kesehatan harus menjadi perhatian utama pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Pemerintah harus dapat menjamin hak masyarakat untuk sehat (right for health) dengan memberikan pelayanan kesehatan secara adil, merata, memadai, terjangkau, dan berkualitas. Hampir semua negara-negara maju di dunia menaruh perhatian yang serius terhadap masalah kesehatan. Negara-negara maju pada umumnya memberikan subsidi kesehatan yang besar kepada masyarakatnya. Pengeluaran anggaran untuk kesehatan hampir mencapai 20-22% dari total anggaran. Nilai ini hampir sama dengan anggaran pendidikan yang mencapai 20-25% dari total anggaran. Sebagai contoh, pemerintah Inggris melalui National Health Service (NHS) memberikan subsidi kesehatan kepada masyarakatnya hingga 90%. Dengan sistem seperti itu masyarakat dapat menikmati pelayanan kesehatan yang sangat murah. Masyarakat hanya menanggung biaya perawatan kurang dari 5% dari total biaya, karena sebagian besar biaya ditanggung pemerintah, sebagian lagi berasal dari donasi, baik dari pribadi maupun perusahaan-perusahaan.
Meskipun biaya kesehatan relatif murah akan tetapi tidak berarti pelayanan yang diberikan rendah dan tidak berkualitas. Murahnya biaya pelayanan kesehatan itu adalah karena adanya subsidi yang besar dan termasuk adanya kontribusi masyarakat dan dunia bisnis dalam bentuk donasi. Dari mana asal dana NHS sehingga mampu memberikan subsidi kesehatan yang begitu besar kepada masyarakatnya? Sebagian besar pendapatan berasal dari pajak masyarakat, yaitu sebesar 86%. Sebagian lagi berasal dari pungutan asuransi kesehatan nasional sebesar 11% dan kurang lebih hanya 3% berasal dari biaya pelayanan kesehatan yang dibebankan kepada pasien.

b. Pendidikan Dasar
Bentuk pelayanan dasar lainnya adalah pendidikan dasar. Sama hanya dengan kesehatan, pendidikan merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia. Masa depan suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh seberapa besar perhatian pemerintah terhadap pendidikan masyarakatnya. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan karena pendidikan merupakan salah satu komponen utama dalam lingkaran setan kemiskinan sebagaimana digambarkan di atas. Oleh karena itu, untuk memotong lingkaran setan kemiskinan salah satu caranya adalah melalui perbaikan kualitas pendidikan.
Pelayanan pendidikan masyarakat yang paling elementer adalah pendidikan dasar. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila dikatakan, “Jika kita ingin mengetahui bangsa ini tiga puluh atau lima puluh tahun yang akan datang, maka lihatlah anak-anak Sekolah Dasar kita sekarang.” Pada pemerintahan kita pendidikan dasar diterjemahkan dalam Program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Pendidikan dasar tersebut pada dasarnya merupakan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakannya. Idealnya pemerintah mensubsidi penuh pendidikan dasar ini sehingga tidak ada alasan bagi oang tua untuk mampu menyekolahkan anaknya. Pemerintah hendaknya menjamin bahwa semua anak dapat bersekolah. Untuk melakukan hal itu diperlukan anggaran pendidikan yang besar. Dalam pemenuhan anggaran tersebut amanat amandemen UUD 1945 telah mensyaratkan alokasi anggaran pendidikan sebenarnya bukan biaya akan tetapi investasi jangka panjang yang manfaatnya juga bersifat jangka panjang.

c. Bahan Kebutuhan Pokok
Selain kesehatan dan pendidikan, pemerintah juga harus memberikan pelayanan kebutuhan dasar yang lain, yaitu bahan kebutuhan pokok. Bahan kebutuhan pokok masyarakat itu misalnya : beras, minyak goreng, minyak tanah, gula pasir, daging, telur ayam, susu, garam beryodium, tepung terigu, sayur mayur, semen, dan sebagainya.
Dalam hal penyediaan bahan kebutuhan pokok, pemerintah perlu menjamin stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga ketersediaannya di pasar maupun di gudang dalam bentuk cadangan atau persediaan.
Lonjakan harga kebutuhan pokok masyarakat yang terlalu tinggi akan memberikan dampak negatif bagi perekonomian makro, misalnya memicu terjadi inflasi yang tinggi (hiperinflasi). Selain itu, ketidakstabilan harga bahan kebutuhan pokok yang tidak terkendali juga dapat menimbulkan ketidakstabilan politik. Selain menjaga stabilitas harga-harga umum, pemerintah juga perlu menjamin bahwa cadangan persediaan di gudang pemerintah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sampai jangka waktu tertentu. Hal ini untuk menghindari terjadinya kepanikan masyarakat terhadap kelangkaan bahan kebutuhan pokok, sehingga tidak terjadi antrian panjang untuk mendapatkan bahan kebutuhan tertentu.

2.       Pelayanan Umum
Selain pelayanan kebutuhan dasar, pemerintah sebagai instansi penyedia pelayanan publik juga harus memberikan pelayanan umum kepada masyarakatnya. Pelayanan umum yang harus diberikan pemerintah terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : a) pelayanan administratif, b) pelayanan barang, dan c) pelayanan jasa.

a. Pelayanan administratif
Pelayanan administratif adalah pelayanan berupa penyediaan berbagai bentuk dokumen yang dibutuhkan oleh publik, misalnya : Pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Sertifikat Tanah, Akta Kelahiran, Akta Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, dan sebagainya.

b. Pelayanan Barang
Pelayanan barang adalah pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang menjadi kebutuhan publik, misalnya : Jaringan telepon, Penyediaan tenaga listrik, Penyediaan air bersih.

c. Pelayanan Jasa
Pelayanan jasa adalah pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan publik, misalnya : Pendidikan tinggi dan menengah, Pemeliharaan kesehatan, Penyelenggaraan transportasi, Jasa pos, Sanitasi lingkungan, Persampahan, Drainase, Jalan dan trotoar, Penanggulangan bencana: banjir, gempa, gunung meletus, dan kebakaran, Pelayanan sosial (asuransi atau jaminan sosial/social security).
Sedangkan jenis-jenis pelayanan publik menurut Lembaga Administrasi Negara yang dimuat dalam SANKRI Buku III (2004) adalah :
1.      Pelayanan pemerintahan adalah jenis pelayanan masyarakat yang terkait dengan tugas-tugas umum pemerintahan, seperti pelayanan KTP, SIM, pajak, perizinan, dan keimigrasian.
2.      Pelayanan pembangunan adalah suatu jenis pelayanan masyarakat yang terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk memberikan fasilitasi kepada masyarakat dalam melakukan aktivitasnya sebagai warga negara. Pelayanan ini meliputi penyediaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, pelabuhan-pelabuhan, dan lainnya.
3.      Pelayanan utilitas adalah jenis pelayanan yang terkait dengan utilitas bagi masyarakat seperti penyediaan listrik air, telepon, dan transportasi lokal.
4.      Pelayanan sandang, pangan dan papan adalah jenis pelayanan yang menyediakan bahan kebutuhan pokok masyarakat dan kebutuhan perumahan, seperti penyediaan beras, gula, minyak, gas, tekstil dan perumahan murah.
5.      Pelayanan kemasyarakatan adalah jenis pelayanan yang dilihat dari sifat dan kepentingannya lebih ditekankan pada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, penjara, rumah yatim piatu, dan lainnya.


D.    Asas-Asas Pelayanan Publik
Bahwa pelayanan publik dilakukan tiada lain untuk memberikan kepuasan bagi pengguna jasa, karena itu penyelenggaraannya secara niscaya membutuhkan asas-asas pelayayanan. Dengan kata lain, dalam memberikan pelayanan publik, instansi penyedia pelayanan publik harus memperhatikan asas pelayanan publik.
Asas-asas pelayanan publik menurut Keputusan Menpan Nomor 63/2003 sebagai berikut:
a.         Transparansi. Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b.        Akuntabilitas. Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c.         Kondisional. Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
d.        Partisipatif. Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
e.         Kesamaan Hak. Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.
f.         Keseimbangan Hak dan Kewajiban. Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Sedangkan menurut Pasal 4 UU No. 25/2009, penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:
a.         kepentingan umum;
b.        kepastian hukum;
c.         kesamaan hak;
d.        keseimbangan hak dan kewajiban;
e.         keprofesionalan;
f.partisipatif;
g.        persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h.        keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k.        ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

E.   Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Penyelengaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, yaitu; penyelenggara negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan pembangunan, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik. Dan masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah/ pemerintah daerah.   Menurut Pasal 1 Ayat 4 UU No. 25/2009, bahwa penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Pada Ayat 6 undang-undang  yang sama disebutkan bahwa pelaksana pelayanan publik adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik

F.    Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Sepuluh Prinsip pelayanan umum diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, kesepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut (RI, 2004);
(1)          Kesederhanaan; Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan  mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan;
(2)          Kejelasan; 1) Persyaratan teknis dan adminsitratif pelayanan publik; 2) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam  memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/ sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; 3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
(3)          Kepastian waktu; Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
(4)          Akurasi; Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
(5)          Keamanan; Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
(6)          Tanggung  jawab; Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk  bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
(7)          Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung  lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi, telekomunikasi dan informatika (teletematika).
(8)          Kemudahan Akses; Tempat dan lokasi sarana prasarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi  telekomunikasi dan informasi.
(9)          Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan; Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
(10)      Kenyamanan;   Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu  yang nyaman, bersih, rapih, lingkungan yang indah dan sehat, serta    dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan,  seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lainnya.

Pasal 34 UU No. 25/2009 disebutkan bahwa pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut:
a.         adil dan tidak diskriminatif;
b.        cermat;
c.         santun dan ramah;
d.        tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
e.         profesional;
f.         tidak mempersulit;
g.        patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h.        menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
i.          tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j.          terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
k.        tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
l.          tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
m.      tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki;
n.        sesuai dengan kepantasan; dan
o.        tidak menyimpang dari prosedur.

G.   Standar Pelayanan Publik

Setiap Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi didalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dan bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonannya. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan, dan menjadi pedoman bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonan, serta sebagai alat control masyarakat dan/atau penerima layanan atas kinerja penyelenggara pelayanan.
Oleh karena itu perlu disusun dan ditetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan, serta memperhatikan kebutuhan dan kondisi lingkungan. Dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan masyarakat  dan/atau stakeholder lainnya (termasuk aparat birokrasi) untuk    mendapatkan saran dan masukan, membangun kepedulian dan komitmen meningkatkan kualitas pelayanan.
Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri PAN nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, sekurang-kurangnya  meliputi:
1)        Prosedur pelayanan;
2)        Waktu Penyelesaian;
3)        Biaya Pelayanan;
4)        Produk Pelayanan;
5)        Sarana dan Prasarana;
6)        Kompetensi petugas pelayanan;

Selanjutnya untuk melengkapi standar pelayanan tersebut diatas, ditambahkan materi muatan yang dikutip dari rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik, karena dianggap cukup realistis untuk menjadi materi muatan Standar Pelayanan Publik, sehingga susunannya menjadi sebagai berikut;  
a.         Dasar Hukum
b.        Persyaratan;
c.         Prosedur pelayanan;
d.        Waktu Penyelesaian;
e.         Biaya Pelayanan;
f.         Produk Pelayanan;
g.        Sarana dan Prasarana;
h.        Kompetensi petugas pelayanan;
i.          Pengawasan intern;
j.          Pengawasan extern;
k.        Penanganan Pengaduan, saran dan masukan;
l.          Jaminan pelayanan.

Tambahan materi muatan standar pelayanan publik tersebut diatas dimaksudkan untuk melengkapi, pertimbangannya cukup realiistis  dengan memasukan materi muatan dasar hukum dapat memberikan kepastian adanya jaminan hukum/legalitas  standar pelayanan tersebut. Disamping itu, persyaratan, pengawasan, penanganan pengaduan dan jaminan pelayanan bagi pelanggan perlu dijadikan materi muatan standar pelayanan publik. Penyusunan standar pelayanan publik harus disusun dengan baik dan tidak rumit, untuk itu harus mempertimbangkan aspek; kemampuan, kelembagaan dan aparat penyelenggara pelayanan, serta potensi daerah dan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Dengan demikian,  standar pelayanan publik yang ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik, terutama oleh para pelaksana operasional pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, serta mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat/stakeholder.
Dalam pembahasan, perumusan dan penyusunan standar pelayanan seharusnya melibatkan aparat yang terkait dengan pelayanan,  untuk tujuan membangun komitmen bersama tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam visi, misi organisasi. Tidak kalah pentingnya dalam proses perumusan dan pembahasannya, melibatkan masyarakat/stakeholder, dan dilakukan tidak bersifat formalitas

H.    Maklumat Pelayanan Publik

Istilah maklumat pelayanan, dimaksudkan memiliki kesamaan dengan istilah Service Charter, merupakan suatu dokumen yang memuat dan menjelaskan informasi mengenai penyelenggaran pelayanan publik dan standar pelayanan publik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik, untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Maklumat pelayanan juga sebagai salah satu cara  pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, yang ditujukan untuk memuaskan pelanggan atau penerima jasa pelayanan.
Maklumat pelayanan, pada dasarnya untuk mengikat penyelenggara pelayanan, dan  menjadi patokan atau pedoman bagi aparat penyelenggara pelayanan publik di dalam menjalankan tugas dan fungsi menyediakan dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggara terikat dengan ketentuan dalam maklumat, seperti; disiplin dan ketaatan melaksanakan prosedur operasioanal, menerapkan ketentuan persyaratan, biaya, waktu untuk proses dan penyelesaian, mekanisme dan proses pengelolaan  penyelesaian pengaduan/sengketa, serta tanggungajawab pelaksanaan pelayanan publik.
Maklumat pelayanan, merupakan bentuk legalitas yang memberikan    hak kepada masyarakat untuk mendapatkan akses mendapatkan pelayanan publik yang  sesuai dengan harapan dan kebutuhannya, perlindungan atau pengayoman, kepastian biaya dan waktu penyelesaian, mengajukan keluhan dan pengaduan dan melakukan  pengawasan.
Maklumat pelayanan publik, merupakan salah satu wujud kesungguhan penyelenggara pelayanan publik, untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance yaitu; transparansi, akuntabilitas, keterbukaan dan equalitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Maklumat pelayanan publik harus disebarluaskan secara terbuka kepada seluruh masyarakat, dan memberikan akses  untuk masyarakat menyapaikan keinginan dan sarannya, serta melakukan  pengawasan dan komplain terhadap ketidak sesuaian apa yang dijanjikan dengan  praktek pelaksanaannya.
Perumusan dan penyusunan Maklumat pelayanan publik mengacu pada standar  pelayanan publik yang telah di tetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dan dalam prosesnya harus dilakukan dengan hati-hati, disesuaikan dengan kemampuan kelembagaan, kualitas dan kuantitas personil pelaksananya, serta dukungan pembiayaaan operasional  pelayanan publik.
Maklumat pelayanan tidak perlu disusun muluk-muluk atau copy paste daerah lain tanpa pertimbangan kemampuan dan kondisi daerahnya. Maklumat  pelayanan publik sebaiknya dirumuskan dan disusun secara sederhana, tidak menyulitkan tetapi mudah dilaksanakan, dapat dimengerti oleh aparat pelaksana penyelenggara dan masyarakat penerima pelayanan.
Untuk itu, Pemerintah Daerah di dalam merumuskan dan menyusun Maklumat pelayanan publik, dapat mengambil langkah untuk;
a.         Melakukan identifikasi dan analisis data, informasi mengenai jenis pelayanan yang perlu dan/atau seharusnya ditetapkan, sesuai urusan dan kewenangannnya;
b.        Melibatkan masyarakat untuk mendapatkan masukan, saran, dan informasi jenis pelayanan yang nyata dibutuhkan oleh masyarakat daerahnya, serta memberikan akses kepada masyarakat dalam proses perumusan dan  penyusunan maklumat  pelayanan publik;
c.         Mempertimbangkan keberagaman daerah, kondisi geografis, mata pencaharian  penduduk dan kehidupan sosial budaya masyarakat, sebagai bahan  kajian dan  bahan perumusan serta penyusunan  maklumat pelayanan publik.  
d.        Menganalisis kelembagaan yang ada, kemampuan personil,       jumlah personil, kemampuan anggaran dan lainnya yang        diperkirakanan akan mempengaruhi kualitas pelayanan,disiplin aparat pelaksana untuk tepat waktu dalam proses dan penyelesaian pelayanan.
e.         Realistis dalam merumuskan persyaratan, waktu, biaya, dan   lainnya agar memberikan kemungkinan untuk bisa dilaksanakan dengan baik oleh aparat penyelenggara, mudah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat, dan yang paling penting tidak membebani atau memberatkan masyarakat.

Materi muatan Maklumat Pelayanan Publik, disesuaikan dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan, kondisi dan potensi daerah, beberapa  materi muatan yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan maklumat pelayanan publik, antara lain:
1)             Profil Penyelenggara;
2)             Tugas dan wewenang penyelenggara;
3)             Siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan;
4)             Siapa yang bertanggungjawab dalam memproses dan menyelesaikan pengaduan dan sengketa pelayanan;
5)             Pihak mana saja yang  dapat menerima pelayanan;
6)             Prosedur dan proses pemberian layanan (dapat dalam bentuk bagan/alur);
7)             Janji yang diberikan kepada penerima pelayanan, termasuk di dalamnya seperti; hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan, kemudahan mendapat pelayanan (tidak sulit, tidak dipersulit, tidak berbelit-belit atau  membingungkan pemohon layanan), waktu yang ditetapkan untuk proses dan penyelesaian, ketepatan waktu  menerima produk layanan, biaya pelayanan, prodedur dan biaya peninjauan lapangan (prakteknya sarat biaya yang dikeluarkan oleh penerima layanan, dan antisipasi bargaining);
8)             Persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon layanan (bila perlu dilakukan penyederhanan atau pemangkasan persyaratan, terutama yang sifatnya yang sifatnya pendukung);
9)             Mekanisme pengajuan pengaduan atau keluhan (lisan tulisan) dari masyarakat, organisasi masyarakat dan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan, pengaduan atas perilaku penyelenggara dan/atau aparat pelaksana pelayanan (seperti; sikap, sopan santun dan lainnya,  tindakan atau perlakuan diskriminatif, KKN, pungutan liar termasuk yang dilakukan bekerjasama dengan perantara/calo dan biaya peninjauan lapangan), serta kepastian waktu proses dan penyelesaian pengaduan dan pemberian informasi kepada pengadu;   
10)         Mekanisme penyampaian saran, usulan masukan yang berkaitan dengan kepedulian masyarakat untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan;
11)         Mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap penyelenggaraan   pelayanan; 
12)         Uraian sanksi bagi penyelenggara dan/atau aparat pelaksana pelayanan;
13)         Pernyataan kesediaan penyelenggara untuk terus memperbaiki dan menyempurnakan maklumat pelayanan berdasarkan masukan dan saran dari masyarakat;
14)         Informasi alamat, telepon, fax, email penyelenggara, dalam rangka  mengembangkan komunikasi, tukar informasi dan korespondensi masyarakat atau penerima pelayanan dengan penyelenggara;  

Referensi

Depdagri-LAN. 2007. Modul Kebijakan Pelayanan Publik, Diklat Teknis  Pelayanan Publik, Akuntabilitas dan Pengelolaan Mutu (Public Service Delivery, Accountability, and Quality Management). Jakarta: LAN. 
Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik serta Implementasinya. Bandung: Mandar Maju.
Lembaga Administrasi Negara. 2004. Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI). Buku 3. Jakarta: LAN.
Lovelock, Christoper  H. 1991. Service Marketing. USA: Prentice Hall, Inc.
Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
McKevitt,  David. 1998. Managing core public services. Published by Blackwell Publishers in Oxford, Malden, Mass .
Moenir, H.A.S. 2006. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Osborne, D. & Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi). PPM Jakarta 2003
Pamudji, S. 1994. Profesionalisme Aparatur Negara Dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan Publik. Jakarta : Widyapraja.
Poerwadarminta, W.J.S. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2007. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustak Pelajar.
RI. 2004. Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Saefullah, H. A. Djadja. 2008a. Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Era Desentralisasi. Bandung: AIPI dan PK2W Lemlit Unpad.
Siagian, Sondang P. 2001. Kerangka Dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Wasistiono, Sadu. 2001. Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung: Alqa Print.


[2] Depdagri-LAN, Modul Kebijakan Pelayanan Publik, Diklat Teknis  Pelayanan Publik, Akuntabilitas dan Pengelolaan Mutu (Public Service Delivery, Accountability, and Quality Management). Jakarta,  2007, hal. 30-33

[3] Ibid., hal. 34
[4] Depdagri-LAN, op cit., hal. 33.
[5] Ibid., hal. 36.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah perjalanan hidup...

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MELALUI PELAYANAN ONE STOP SERVICE (ANTARA IDEA DAN REALITA)

CV_Hardiyansyah